Posted by : Hery Amariansyah Saturday, 8 November 2014

Hutan di Indonesia merupakan paru-paru dunia yang dapat menyerap karbon dan menyediakan oksigen bagi kehidupan di muka bumi ini. Namun seiring berjalannya waktu dan modernisasi, kerusakan hutan di Indonesia semakin bertambah. Fungsi hutan sebagai penyimpan air tanah akan terganggu akibat terjadinya perusakan hutan yang terus-menerus. Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar- besaran. Menurut Badan planologi Departemen Kehutanan pada 2003, di Indonesia, berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000, terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan.. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Laju kerusakan hutan belum sebanding dengan laju pemulihannya.
Kerusakan hutan sekitar 0,7 juta hektar per tahun di Indonesia, sedangkan kemampuan pemulihan lahan yang telah rusak masih sekitar 0,5 juta hektar per tahun. Kerusakan tersebut mengurangi layanan hutan bagi kehidupan seperti menata siklus air, tempat beradanya keanekaragaman hayati, dan memitigasi perubahan iklim (Hatta, 2011). Industri kertas merupakan salah satu penyumbang besar konversi hutan di Indonesia. Indonesia kehilangan 1,1 juta hektar hutan setiap tahun, sebagian besar karena penebangan yang tidak lestari, meliputi konversi hutan dan pembalakan liar skala luas yang diperkirakan merugikan Indonesia sekitar AS$4 miliar setiap tahun (Yudhoyono, 2011).
Satu rim kertas setara dengan satu pohon berumur 5 tahun. Untuk setiap ton, pulp membutuhkan 4,6 meter kubik kayu, dan 1 ton pulp menghasilkan 1,2 ton kertas. 1 hektar hutan tanamanan industri (acacia) dapat menghasilkan kurang lebih 160 meter kubik kayu. Jika pertahun diproduksi 3 juta ton pulp, maka membutuhkan 86.250 hektar hutan. Daur ulang tumbuh acacia yang cukup lama, yakni 6 tahun, menyebabkan industri pulp membutuhkan lebih banyak hutan untuk beroperasi (Sudjarwadi dalam Habib, 2010). Total kapasitas produksi industri perkayuan di Indonesia setara dengan 68 juta m3 kayu bulat. Kapasitas tersebut 3 kali lipat lebih besar dibandingkan kemampuan hutan produksi Indonesia untuk menghasilkan kayu secara lestari (Departemen Kehutanan, 1997). Akibatnya, bahan baku industri kertas banyak berasal dari hutan alam, dan diperparah dengan tidak dilakukannya penanaman hutan kembali. Ini menunjukkan kertas erat kaitannya dengan hutan. Penggunaan 1 rim kertas telah mengorbankan dua meter persegi hutan alam. Saat ini hutan-hutan di Indonesia mengalami kerusakan yang cukup parah.
Jika dahulu Indonesia termasuk dalam 3 negara dengan hutan terluas di dunia, bahkan diyakini 84% daratan Indonesia adalah hutan, maka saat ini Indonesia telah menjadi negara dengan laju perusakan hutan yang cukup tinggi (WWF dalam Sari, 2011). Melihat kerusakan hutan yang terjadi akibat industri kertas, sangat penting untuk menerapkan bahan baku alternatif non-hutan pada industri kertas (pulp). Pulp diproduksi dari bahan baku yang mengandung selulosa. Baskoro (1986) mengatakan bahwa ampas tebu (bagase), limbah dari batang tebu setelah dilakukan pengempaan dan pemerasan, secara umum mempunyai sifat serat yang hampir sama dengan sifat serat kayu daun lebar. Berdasarkan pustaka (Paturau, 1982), komponen utama ampas tebu terdiri dari serat sekitar 43-52%, dan padatan terlarut 2-3%. Panjang serat 1,43 mm dan nisbah antara panjang serat dangan diameter 138,43 (Baskoro,1986). Oleh karena itu ampas tebu memenuhi syarat tersebut untuk menjadi alternatif sebagai bahan baku pembuatan pulp dan kertas (Kuo dan Lee, 2008).

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Berlangganan Sinyal FX?

JustForex

Followers

Popular Post

- Copyright &SHIE; artorlife -Diberdayakan- Powered by Blogger - Designed by SHIE -