- Back to Home »
- Resensi Buku »
- Resensi Buku : Perempuan Keumala "Sebuah Epos untuk Nanggroe"
Posted by : Hery Amariansyah
Tuesday, 20 May 2014
Siapa yang tak kenal dengan Kartini? Atau Cut
Nyak Dien atau Dewi sartika. Semua kenal dengan sosok pahlawan perempuan yang memperjuangkan emansipasi
wanita baik lewat karya ataupun perjuangan nyata tersebut. Tapi kenalkah anda
dengan sosok pahlawan perempuan dari daratan Nanggroe yang memimpin pasukan
janda sebagai pasukan tempur melawan belanda yang di kepalai oleh Cornelis De
Houtman yang akhirnya terbunuh oleh sosok laksamana laut pertama di dunia yaitu
perempuan yang bernama Keumala Hayati.
Dalam Novel karya Endang Moerdopo kelahiran
Jawa seorang Jogja tulen yang berjudul Perempuan Keumala “Sebuah epos untuk
nanggroe” yang di susun selama dua tahun. Penulis ini juga sempat menjabat Kepala Pengembangan
dan Evaluasi Pusat Pembelajaran Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR).
Awal mula diceritakan sosok remaja
keumalahayati yang belajar di pendidikan militer di kutaraja. Bersama kawanannya
kuemalahayati melewati suka dan duka di masa mudanya. Hingga bertemu dengan
jodohnya yaitu Tuanku Mahmudin kakak tingkat di kelas pendidikan militer.
Mahmudin saat itu sebagai panglima laot selat malaka yang juga sudah menjadi
suami Keumala.
Dengan pasukannya Mahmudin berperang
bersama melawan Portugis
di Laut Haru, Selat Malaka tak digambarkan detail. Tapi disitulah kisah hidup
Keumala direkatkan pada jalan perang. Tuanku Mahmuddin shyahid meninggal saat membela
Sultan. Keumalapun menjadi
seorang janda. Seketika
itu Sultan membebaskan Keumala dari duka, dia dinobatkan untuk mengganti
suaminya sebagai Panglima Laot Selat Malaka karena menurut sultan tidak ada orang yang bisa di percaya lagi olehnya
dalam kerajaan. Rasa iri
muncul dari petinggi istana lainnya. Lalu kisah diceritakan sebagai konflik
dalam kerajaan untuk
merebut simpati sultan.
Nanggroe adalah perang yang
nyaris abadi sejak lama. Keumala menjadi kepercayaan sultan dan lahirlah Armada
Inong Balee yang dipimpinnya sendiri. Pasukan berasal dari para janda yang
suaminya meninggal bersama Mahmuddin. Jadilah Laksamana Keumalahayati sebagai perempuan
perkasa yang memimpin perang, menghibur para janda, berlatih bersama,
menghitung strategi sampai kepada mengirimkan mata-mata untuk menelusuri
pedagang-pedagang curang di sepanjang Selat Malaka.
Keumalahayati digambarkan sebagai sosok
perempuan yang memiliki jiwa patriotis sebagai kaum yang turut membela tanah
airnya dari ancaman-ancaman Negara asing maupun orang-orang kerajaan yang
mementingkan keinginan pribadi demi memperkaya diri. Dari lain sisi
Keumalahayati juga menjadi sosok yang lemah lembut menggambarkan sosok kodratinya
sebagai perempuan dalam memimpin pasukan inong bale (janda). Dengan memberikan
perhatian lebih bagi pasukan inong bale yang memiliki anak yang masih
membutuhkan asupan ASI dengan memberikan keluangan waktu di saat ada pelatihan
untuk meninggalkan barisan.
Keumalahayati jelas bukan perempuan lemah, dalam
catatan sejarah dialah yang berhasil membunuh Cornelis de Houtman–orang Belanda
pertama yang menemukan jalur rempah-rempah dari Eropa ke Indonesia–dalam sebuah
pertarungan satu lawan satu di atas geladak kapal, pada 11 September 1599.
Namun, penempatan serdadu Belanda
dan/atau Portugis sebagai sekadar antagonis, sebagaimana kelaziman dalam babad,
hikayat, panji, dan bakaba, hanya ada dua pihak kalaulah tak putih berpihak
pada sosok hero atau heroine, ya sosok hitam. Belanda bukan digambarkan secara
imajinatif–melainkan dengan serta-merta dikalimatkan Endang sebagai bengis,
congkak, dan semacamnya; sementara Bentana Lela, yang mengincar posisi
Keumalahayati sebagai Laksamana Laut pengganti suaminya yang gugur melawan
Portugis, sebagai pengkhianat; sejajar pula sematan predikat bagi Ibrahim
Jaffar.