- Back to Home »
- Catatan Menikung »
- HIPNOTIVI
Posted by : Hery Amariansyah
Friday, 19 December 2014
(Kuasa Media dan Ketidak Berdayaan Publik)
Oleh:
Hery Amariansyah
“Fakta di media massa
hanyalah hasil rekonstruksi dan olahan para pekerja redaksi. Walaupun mereka
telah bekerja dengan menerapkan teknik-teknik jurnalistik yang presisi, tetapi tetap
saja kita tidak dapat mengatakan bahwa apa yang mereka tulis adalah fakta yang
sebenarnya.”- Noam Chomsky.
Media massa saat ini sudah menjadi
acuan penting bagi publik dalam memperoleh ketepatan informasi dalam kehidupan
sehari-hari. Seperti yang sudah kita ketahui bahwa media massa terdiri dari
berbagai ragam jenisnya mulai dari media cetak, media online, media elektronik,
media audio dan media audio visual. Sebagian besar masyarakat di Indonesia
mengandalkan media massa sebagai sarana publik yang tepat untuk melengkapi
informasi-informasi yang berhubungan dengan realitas kehidupan. Baik yang
sedang berlangsung maupun yang akan berlangsung. Dengan artian bahwa,
masyarakat Indonesia pada saat ini mengalami masa dimana perubahan sosial
diberbagai bidang ekonomi, politik, hukum yang tentunya dipengaruhi oleh media
dalam menanggapi sebuah realitas kehidupan yang sedang terjadi di masyarakat.
Media massa yang saat ini menjadi pusat
perhatian khalayak adalah media elektronik. Khususnya media penyiaran televisi.
Sebuah media penyiaran televisi juga menggunakan medium frekuensi dalam menyampaikan
siarannya. Frekuensi yang digunakan stasiun penyiaran televisi juga memiliki
sistem pembagian frekusensi secara regional dalam memancarkan informasi kepada
para khalayak media. Mulai dari tingkat regional Very High Frekuency (VHF)
sampai nasional Ultra High Frekuency (UHF). Namun, seiring dengan
perkembangan perindustrian penyiaran kebanyakan media penyiaran swasta maupun
negeri sudah menggunakan frekuensi UHF
dalam penyiarannya.
Dengan
memanfaatkan sistem penyiaran yang menggunakan frekuensi bebas dan luas maka
hal ini erat kaitannya dengan peran publik dalam pengawasan penggunaan
frekuensi publik. Dengan cakupan yang luas, tentunya media penyiaran televisi bisa
lebih leluasa dalam menyampaikan pesan siaran tanpa terbatas jarak dan waktu. Namun,
bukan berarti media se-enaknya sendiri dalam proses penyiaran. Setiap saat
media hadir dengan berbagai macam tayangan yang memuat konten-konten media
berupa pesan audio visual. Konten yang biasa dianggap media memiliki kekuatan
tersendiri dalam menyampaikan pesan. Menurut media mainstream tayangan dengan rating tinggi adalah konten yang
dibutuhkan oleh publik. Sedangkan dalam realitasnya medialah yang sudah
memilihkan konten untuk sebuah tayangan televise yang disajikan kepada publik.
Masyarakat terkadang dibuat bingung
dengan realitas yang sedang terjadi. Bukan karena realitas tersebut tidak bisa
dipercaya. Tetapi, lebih kepada masyarakat itu sendiri yang sedang mengalami
kebingungan dalam mengkonsumsi informasi dari berbagai media sebagai realitas. Hal
ini tentunya sangat berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan publik dengan
realitas yang disajikan oleh media. Dengan kata lain, media saat ini pun saling
bersaing untuk mendapatkan kepercayaan publik demi kelangsungan hidup media
tersebut. Tanpa adanya publik, maka media akan mengalami krisis untuk menyampaikan
suatu informasi. Dalam hal ini media pun akhirnya menciptakan banyak
inovasi-inovasi baru dalam menyajikan suatu informasi. Supaya tidak
ditinggalkan oleh khalayak media yang setiap hari semakin dinamis dalam
menanggapi perubahan sosial.
Sebagaimana
diutarakan Giddens (1991:89),
dalam era postmodern di mana bentuk-bentuk produksi informasi berperan dominan
di dalamnya, apa yang terjadi kemudian justru “kebingungan informasi” yang
melanda masyarakat. Dalam era ini, Giddens menekankan bertubi-tubinya informasi
menyerang masyarakat, sebagai misal kerap kita temui antara satu stasiun
televisi, radio atau media cetak dengan lainnya memiliki konstruksi dan
pemaknaan yang berbeda-beda atas suatu peristiwa atau permasalahan yang sama.
Apabila
hal tersebut berlangsung secara terus-menerus, maka tak menutup kemungkinan
ketidakpercayaan publik akan media sebagaimana analisis Jean Baudrillad pada
masyarakat Amerika Serikat turut melanda tanah air, terlebih dengan
ditempatkannya Indonesia sebagai negara “euphoria demokrasi” saat ini.
Media
memiliki kemampuan lebih dalam menyajikan informasi sebagai realitas yang
dipercaya oleh publik. Media pun memiliki latar belakang dalam menyampaikan
informasi kepada khalayak. Jika dipertanyakan sekilas mengenai apa yang melatar
belakangi media untuk menyampaikan suatu informasi? Tentu saja, media juga
memiliki kepentingan dalam mengembangkan potensinya dalam bermedia. Dalam
bermedia masyarakat dianggap sebagai komponen yang harus dan wajib untuk
mendapatkan informasi dari berbagai media yang memuat berbagai informasi.
Masyarakat menjadi komponen yang penting sebagai konsumen informasi yang
disiarkan oleh media. Tanpa adanya khalayak, media mustahil hidup. Dengan
demikian, terkadang media juga memiliki banyak unsur perbedaan yang melatarbelakangi
dalam hal menyampaikan informasi.
Hiper realitas
merupakan istilah yang dicetuskan Baudrillard (1983) terkait kajiannya mengenai
berbagai muatan yang terdapat dalam media massa. Secara ringkas dan sederhana, hiper realitas dapat diartikan sebagai
perihal yang “melampaui kenyataan”. Muatan hiper
realitas umumnya terdapat dalam iklan-iklan produk komersial, sebagai misal
salah satu produk parfum yang dapat membuat para pria diikuti oleh wanita seisi
kota, minuman bersoda yang dapat membuat terbang atau permen yang dapat membuat
seseorang beku.
Dalam ranah sosiologi politik,
kajian mengenai hiper realitas
menemui relevansinya dalam iklan-iklan politik di berbagai stasiun televisi
menjelang pemilu. Melalui hal tersebut, kita kerap melihat bagaimana seorang
tokoh dicitrakan mampu mengatasi segala macam persoalan bangsa “dari Sabang
sampai Merauke”, ditambah dengan senyum “bungah” para petani, nelayan, buruh
dan para guru yang seolah merupakan pertanda atau simbol bahwa hanya sosok
tokoh tersebutlah yang mampu mensejahterakan mereka.
Patut
disayangkan memang jika kita menilik beberapa hasil survey yang menyatakan
bahwa berbagai bentuk iklan politik dalam media televisi merupakan sarana
kampanye paling efektif pada masyarakat(@wearesosialsg:2014).
Kiranya,
hal tersebut dapat menjadi salah satu indikator masih mudahnya masyarakat
Indonesia “dibohongi”.
Hal-hal
demikianlah yang dimaksudkan dengan ketidak berdayaan publik terhadap informasi
yang disajikan media. Dimana media menguasai frekuensi publik dan
mengesampingkan kepentingan publik. Media pun tak bisa lepas dari berbagai
kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemilik modal dalam membangun media itu
sendiri. Untuk menciptakan media yang benar-benar independen dalam menyiarkan
pesan yang memang dibutuhkan oleh publik. Media pun perlu meminta persetujuan
dari para pemilik modal atau kelembagaan dalam mengatur hak untuk menggunakan frekuensi publik.
Dengan
demikian banyak hal yang mungkin terjadi dalam realitas sosial yang
diselewengkan. Dan lagi-lagi publik menjadi korban dari media yang menguasai
informasi. Pengalihan realitas sosial ini biasa disebut juga sebagai bentuk rekayasa
Sosial.
Dengan berbagai keunggulan media, salah satunya sebagai pembentuk opini publik,
media mampu meciptakan realitas yang keluar dari nilai esensi awal sebuah
informasi. Sehingga publik akan mempercayai realitas yang disiarkan oleh media.
Media pun memiliki alasan yang kadang menjadi pertimbangan dalam
teguran-teguran yang telah dilayangkan oleh KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) dengan
mengatasnamakan kepentingan media untuk berbagi informasi dibandingkan dengan
kepentingan publik dalam mengkonsumsi wacana.
Tak
berlebihan kiranya diktum Foucault (1972:87)
yang mengatakan, “Knowledge is power”
Pengetahuan adalah kekuasaan. Pernyataan tersebut menyiratkan bahwa dalam
setiap informasi yang menyerua ke permukaan tak lepas dari relasi kuasa.
Berbagai ungkapan seperti, sejarah dibuat oleh pemenang “the winner takes all” atau “penguasa bebas merubah sejarah berikut
memutarbalikkan fakta” merupakan realitas keseharian yang kerap kali luput dari
kesadaran kita.
Mari
kita kembali mengingat sejarah mengenai masa Orba; Di era kekuasaan Orde Baru,
Soeharto memojokkan Soekarno sebagai pengkhianat bangsa dengan menuduh
keterlibatannya dalam G30S-PKI, namun setelah Orde Reformasi bergulir, nama
Soekarno kembali “bersih” dan giliran Soeharto yang dipojokkan. Dan ada lagi
mengenai Propaganda Soeharto akan keberhasilan repelita yang faktual sekedar isapan
jempol belaka (John Perkins, The
Confenssion of Economic Hitman).
Pada
masa setelah Orba kebijakan politik media kembali menjunjung tinggi media
sebagai pilar demokrasi. Namun, ternyata hal tersebut tidak berlangsung lama.
Seiring dengan berbagai tuntutan dalam kestabilan dunia perpolitikan di
Indonesia. Media pun kembali hadir dengan wacana-wacana yang menyuguhkan
tentang berbagai permasalahan yang menyangkut tokoh-tokoh partai politik.
Tentunya, dengan kesimpang siuran informasi dikarenakan kepentingan media dalam
menyiarkan informasi berbeda-beda.
Sebagai contoh pada pemberitaan stasiun televisi ANTV yang sebagian
besar sahamnya dimiliki Abu Rizal Bakrie selalu menggunakan istilah “bencana
alam lumpur Sidoarjo”, sedang stasiun televisi lain “tragedi lumpur Lapindo”.
Ini
adalah hal yang cukup pelik jika dijabarkan dengan luas lagi. Banyak media
mengagung-agungkan independensi, namun dalam realitasnya media hanya
menunjukkan realitas nyata bagi kalangan-kalangan tertentu dan dengan tujuan
tertentu pula. Dengan demikian, publik akan kembali mempertanyakan mengenai apa
yang sebenarnya media inginkan dalam menyelenggarakan suatu tayangan penyiaran.
Bukankah media harus pro dengan kepentingan publik, bukankah media harus
mengutamakan kebutuhan publik dalam hal mencukupi informasi tentang realitas
yang sedang terjadi. Kenapa media hanya mengabarkan hal yang bersifat
opportunis bagi sebagian kalangan. Jika, terjadi hal demikian berlarut-larut
bisa diprediksikan public akan perlahan mencari alternatif baru dalam mencari
informasi dan mulai meninggalkan media.
Tanpa
adanya keterkaitan politik yang dimiliki oleh media itu sendiri dengan politik
pemerintah, birokrasi, dan kepentingan partai politik apakah media masih mampu
mengatasi krisis kepercayaan dan mempertahankan kejayaan media dalam menyebar
luaskan informasi.
Ini
adalah langkah selanjutnya dalam mencari solusi yang sedang dihadapi oleh
media. Modal yang besar untuk menyelenggarakan media penyiaran publik adalah
salah satu alasan media pada saat ini untuk membenarkan kebijakan media dalam
mencari rating untuk menarik para
partisipan atau sponsorship dengan mengatasnamakan kepentingan publik.
Dengan
melihat program acara televisi yang memiliki rating banyak. Maka dapat disimpulkan bahwa acara tersebutlah yang
diminati oleh publik dan layak untuk
dijadikan lahan sponsorship. Yang sangat disayangkan ketika media sudah
dibutakan dengan iming-iming kebanjiran order iklan. Sehingga media pun secara
langsung mendeklarasikan diri menuju perataan konglomerasi media dengan
berlandaskan rating.
Atas
fenomena-fenomena yang ada, baik itu di ranah demokrasi maupun media. Kita
harus menyadari bahwa media massa tidak bebas nilai. Artinya masyarakat dalam
memandang media harus menggunakan cara berpikir yang berlawanan dengan cara
berpikir media itu sendiri, yaitu tidak memandang media sebagai satu-satunya
sumber informasi yang mutlak. Sebagaimana media menginginkan masyarakat
memandang media sebagai satu-satunya sumber informasi. Dengan begitu,
masyarakat tetap menempatkan media sebagai pengawal masyarakat bukan sesuatu
yang harus dikawal. Maksudnya dengan media menjadi pengawal, media ditempatkan
sebagai indikator yang dapat digunakan masyarakat dalam mengidentifikasi
berbagai gejala baik dan buruk dalam masyarakat. Sehingga masyarakat menjadi
mengerti dan dapat mengambil sikap yang tepat terhadap permasalahan yang sedang
dihadapi. Tanpa harus menjadi bingung akibat dari perbedaan berbagai opini yang
muncul. Tentunya ini akan terjadi bila media massa sudah kembali kepada
fungsinya sebagai pilar ke 4 dari demokrasi yang menempatkan masyarakat sebagai
sudut pandang utama, bukan kepentingan media atau kepentingan lain yang bermain
di belakangnya.
Dari
pembahasan di atas juga kita dapat melihat bagaimana kekuatan yang dimiliki
oleh media massa mempengaruhi masyarakat. Kekuatan media yang dimaksud adalah
kemampuan yang dilatarbelakangi oleh kepentingan politik, ekonomi dan kekuasaan
untuk mempengaruhi serta menghegemoni khalayak. Mengutip perkataan Tifatul
Sembiring sebagai Menteri Depkominfo dalam pidato peresmian TV Digital di
Bandung 29 Januari 2010 kurang lebih mengatakan, “Dahulu untuk menguasai
negara, orang harus menguasai sumberdaya alamnya terlebih dahulu, kemudian
berubah menguasai ekonominya lebih terdahulu, sekarang menguasai informasi dan
medianya terlebih dahulu.” Posisi media dalam masyarakat juga sebenarnya sudah
mempunyai tempat dan porsinya sendiri, yaitu sebagai pilar keempat dalam
demokrasi yang berfungsi menjaga dan mengawal jalannya demokrasi. Hanya saja
dalam perjalanannya masih banyak yang harus dibenahi, baik pembenahan ke dalam
seperti melaksanakan hal-hal yang tercantum dalam ratifikasi Standar Kompetensi
Wartawan Indonesia. Sedangkan keluar adalah berusaha menyajikan pemberitaan
yang berimbang dan netral. Walaupun keberpihakkan itu sendiri terkadang memang
diperlukan dalam hal-hal tertentu, seperti membangkitkan jiwa nasionalisme
masyarakat dan sebagai ciri dari sebuah media.
Tulisan
ini hanya sebatas wacana yang belum memberikan solusi terbaik untuk menghadapi
kuasa media. Tetapi setidaknya wacana ini bisa berkembang ke arah yang lebih baik
dan menghasilkan solusi terbaik bagi media maupun publik. Sehingga tidak ada
yang merasa dirugikan di antara kedua belahpihak.
Daftar Pustaka
Fillingham, Lydia Alix. Foucault Untuk Pemula.
Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Giddens, Anthony. Konsekuensi-konsekuensi Modernitas.Yogyakarta:
Kreasi Wacana, 2005.
Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta: Granit,
2004.
Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media.
Yogyakarta: LKiS, 2005.