- Back to Home »
- Catatan Menikung , TUGAS »
- ARTIKEL ILMIAH PEREMPUAN DALAM ERA JURNALISME PUBLIK
Posted by : Hery Amariansyah
Tuesday, 30 September 2014
ARTIKEL ILMIAH
PEREMPUAN DALAM ERA JURNALISME
PUBLIK
NAMA :
1.
HERY AMARIANSYAH
2.
FERRY PUTRA DWI FERDANA
ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
Perempuan Di Era Jurnalisme Publik
I.
Pendahuluan
Suatu anggapan salah apabila
menganggap hal yang sudah biasa terjadi dan biasa dikonsumsi adalah sebuah hal
yang lumrah dan wajib untuk dimaklumi. Tidak dipungkiri dalam hal jurnalisme
atau biasa di kenal dengan bidang kepenulisan masih banyak kekeliruan dalam
memaknai dan memaklumi sesuatu yang sudah dianggap biasa. banyak hal yang dimaklumi
malah menimbulkan semacam perubahan sosial dalam aspek kepekaan sosial.
Menganai jurnalisme adalah hal yang
biasa berhubungan dengan banyak hal mengenai kepenulisan. Bukan lagi hal yang
lumrah jika menyisipkan atau mempergunakan sebuah kata-kata Sexist[1] dalam
penggunaan dan peruntukan bagi kepenulisan untuk menggait minat pembaca. Dengan
permasalahan mengenai banyaknya masyarakat yang mulai menggiati dunia
kepenulisan. Baik dalam hal sastra atau pun kepenulisan ilmiah hal-hal yang
berbau seks sering disamarkan atau sengaja tidak diperlihatkan demi menjaga
kenyamanan para pembaca dengan alasan supaya tidak terlalu vulgar[2].
Di dalam sebuah dunia jurnalisme
yang tentunya mengenai kepenulisan. Hampir semua orang sudah mengenal
jenis-jenis tulisan. Baik dalam hal karya sastra maupun sarana untuk memberikan
informasi kepada publik dalam hal pemberitaan pada media massa. Dengan seiring
berjalannya waktu dan era yang semakin global. Maka sedikit banyak juga
mempengaruhi gaya dan teknik dalam kemajuan dunia jurnalisme. Di era ini
dikenal sebagai era jurnalisme modern. Begitu banyak penggiat sastra dan
penggiat dunia jurnalistik diiringi juga dengan semakin berkembangnya minat penggemar,
pengamat atau pun publik yang hanya ingin mengetahui sebuah informasi yang
terjadi pada saat ini.
Namun, hal ini juga yang mendorong
berbagai penulis melakukan hal-hal yang lebih kreatif dan inovatif untuk
mendongkrak daya jual suatu tulisan yang sudah diciptakan. Tapi, ada juga
penulis yang sengaja membubuhi karyanya dengan hal-hal yang bersifat sexist untuk mendapatkan perhatian lebih
dalam hal kepenulisan dan minat baca masyarakat pada umumnya. Dalam hal ini
banyak sekali praktik kepenulisan yang menggunakan bahasa sexist yang itu justru membuat samar sebuah arti dari hal mengenai
seks tersebut.
Sampai dengan pembuatan novel,
cerpen, puisi, bahkan sebuah pemberitaan cenderung mengalihkan perhatiannya
kepada kepenulisan mengarah menuju ke inti dari sebuah kata dan kalimat yang
tepat makna. Pembaca semakin dijauhkan dengan adanya bahasa sexist ini dikarenakan kata-kata yang
banyak mengandung kiasan atau semacam bercandaan bagi kaum penulis modern. Banyak
kasus tindakan asusila, pemerkosaan, bahkan hal yang bersifat mengancam psikis
atau keadaan seseorang di dalam memaknai sebuah kata ganti untuk menyamarkan
berbagai kegiatan seks.
Untuk itu mengapa hal ini perlu
dicermati dan dipahami lebih dalam lagi. Dengan sikap demikian diharapkan
pembaca pun mengetahui ada banyak permasalahan dalam kepenulisan di era global
ini. Hal itu pun tidak menutup kemungkinan akan terjadinya salah penyampaian
makna atau bahkan salah dalam memahami suatu bacaan-bacaan yang secara tidak
langsung akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku kita dalam menyikapi
kejadian-kejadian sosial di sekitar
kita.
Dengan harapan yang begitu besar
terhadap perkembangan dunia kepenulisan maka setidaknya kita mulai berlatih
untuk tetap mengkritisi apapun kejadian-kejadian yang digambarkan dalam sebuah
karya sastra maupun informasi yang berkembang di masyarakat pada saat ini. Kita
sebagai manusia pun tak bisa menghindari dari berbagai ancaman mengenai
penyamaran tata bahasa yang digunakan dalam kepenulisan. Hanya bisa
mengantisipasi untuk tidak terlalu terjerumus dalam memilah dan memilih sebuah
karya yang dihasilkan oleh bidang jurnalisme.
Untuk menyikapi hal demikian perlu
kita cermati mengenai hal-hal yang sering di pergunakan untuk menyalurkan
bahasa sexist dalam suatu
kepenulisan. Di dalam artikel ini akan di jelaskan mengenai berbagai karya
maupun tulisan yang biasa menggunakan bahasa sexist dalam kepenulisannya.
II.
Pembahasan
Perempuan
dalam sastra, kesastraan penulis tidak lepas dari kata emansipasi
Keberadaan
karya sastra di tengah-tengah masyarakat tidak dapat dilepaskan dari keberadaan
masyarakat itu sendiri. Sastra hidup karena ada masyarakat penciptanya, yaitu
pengarang sebagai author. Di
samping itu, sastra hidup dari roh masyarakat,
artinya masyarakat sebagai objek penceritaan.
Dalam hal ini, Faruk (1999:vi)
menyatakan bahwa membicarakan karya
sastra sesungguhnya tidak terlepas pada masyarakat. Ini berarti bahwa
kehadiran karya sastra merupakan refleksi dari keberadaan masyarakat. Dapat
juga sebagai suara hati pengarang dengan melihat pada realita yang ada di
sekitarnya, baik yang dialami sendiri maupun hasil peneropongan atau pengamatan
atas perilaku masyarakat dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya.
Erat
kaitannya dengan hal tersebut, perkembangan sastra akhir-akhir ini ditandai
dengan kemunculan beberapa perempuan yang memosisikan dirinya sebagai
pengarang. Kehadiran mereka turut mewarnai khasanah sastra Indonesia mutakhir.
Mereka menjadikan perempuan dan eksistensinya sebagai sumber ide dalam penceritaan.
Di antara mereka adalah orang-orang yang masih berusia muda, sebut saja: Ayu
Utami (Utami), Dewi Lestari (Lestari), Fira Basuki (Basuki), Nova Riyanti Yusuf
(Yusuf), Oka Rusmini (Rusmini), Herlinatiens, Ratih Kumala (Kumala), Dewi
Sartika (Sartika), Abidah El Khalieqy (Khalieqy), Djenar Maesa Ayu (Ayu), Rieke
Diah Pitaloka (Pitaloka), dan lain-lain.
Utami
menulis Saman dan Larung. Lestari menulis Supernova: Ksatria,
Putri, dan Bintang Jatuh, kemudian disusul Akar dan Petir. Basuki
dengan trilogi novelnya Jendela-jendela, Pintu, dan Atap, kemudian
novel terbarunya Biru. Yusuf menulis Mahadewa Mahadewi. Rusmini
populer dengan novelnya Sagra, Tarian Bumi, dan Kenanga. Herlinatiens
menulis Garis Tepi Seorang Lesbian. Sartika menulis Dadaisme. Khalieqy
menulis Geni Jora. Kumala menulis Tabularasa. Ketiga judul novel
terakhir adalah novel tebaik dan meraih gelar juara I, II, dan III dalam lomba
penulisan novel yang diselenggarakan DKJ tahun 2003. Ayu terkenal dengan
cerpen-cerpennya. Salah satu cerpennya Waktu Nayla terpilih sebagai
cerpen terbaik 2003 yang dimuat di harian Kompas. Di samping itu, telah
terbit dua kumpulan cerpennya, yaitu Jangan Main-Main (dengan Alat
Kelaminmu) dan Mereka Bilang Saya Monyet. Sementara itu, Pitaloka
menulis Renungan Kloset (kumpulan puisi) yang ditulis antara tahun 1998
– 2003.
Melihat
kekuatan dan kreativitas para perempuan pengarang di atas, Damono (dalam
Srengenge, 2004:84) mengatakan bahwa tanpa harus memberikan peringkat ke-sastra-an
atau ke-populer-an (seolah-olah keduanya dapat dibedakan), di masa
mendatang mungkin perkembangan sastra kita akan ditentukan oleh perempuan. Hal
ini bukanlah sesuatu yang berlebihan karena akhir-akhir ini sebagian besar
karya sastra yang terpampang di etalase-etalase pertokoan didominasi kaum hawa
tersebut.
Para perempuan pengarang tersebut menjadikan perempuan
sebagai objek penceritaan. Perempuan masih dianggap sebagai makhluk yang lemah.
Perempuan masih diidentikkan dengan urusan rumah tangga. Perempuan masih
dipandang sebagai ibu rumah tangga yang harus setia melayani suami dan mengasuh
anak-anaknya. Keberhasilan anak dalam pendidikan maupun karier menjadi tolok
ukur keberhasilan peran ibu dalam mendidik putra-putrinya. Hal yang demikian
secara langsung maupun tidak telah melahirkan ketidakadilan terhadap perempuan.
Perempuan memikul beban berat dibandingkan laki-laki dalam urusan rumah tangga.
Hal ini juga tidak terkecuali bagi perempuan yang bekerja (wanita karier).
Mereka terbebani dengan tugas ganda, di samping bekerja, mereka juga mengurusi
rumah tangga.
Anggapan
laki-laki lebih berkuasa dan dominan dalam masyarakat di banyak bidang sangat
merugikan kaum perempuan. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan perempuan di
tengah-tengah laki-laki dalam suatu pekerjaan, perempuan selalu mendapatkan
perlakuan yang tidak menunjukkan keprofesionalannya. Ada keraguan di antara
mereka tentang kemampuan yang dimiliki perempuan. Kemampuan perempuan dianggap
tidak sepadan dengan laki-laki sehingga dalam suatu lembaga sulit ditemukan
perempuan sebagai pemegang kendali atau pimpinan tertinggi di lembaga tersebut.
Kalaupun ada perempuan yang memegang jabatan tertinggi, hal itu tidak terlepas
dari bayang-bayang laki-laki di sekitarnya.
Di
samping hal-hal di atas, masih banyak pendapat dan pandangan yang menyampingkan
peran perempuan. Pernyataan-pernyataan atau sikap-sikap yang merugikan kaum
perempuan seakan menjadi alur yang tidak berkesudahan. Harkat dan martabat
perempuan walaupun telah dihargai, tetap menyisahkan pandangan-pandangan
negatif yang merendahkan kaum perempuan. Banyaknya kasus perkosaan, pelecehan
seksual, kekerasan suami terhadap istri merupakan contoh terjadinya
ketidakadilan terhadap perempuan. Citra negatif ini didukung oleh fakta di
lapangan, bahwa laki-laki memiliki peran dan posisi yang lebih baik dan
menguntungkan dibandingkan perempuan.
Perempuan
Di Mata Jurnalisme dan Pemasaran Periklanan
Dunia
jurnalisme sampai saat ini masih digandrungi oleh berbagai kalangan. Di mulai
dari yang muda hingga yang tua dan dari orang kaya hingga orang menengah
kebawah. Jurnalisme sebagai sarana publik untuk mewadahi informasi-informasi
yang dibutuhkan oleh khalayak media massa. Dalam dunia jurnalisme ternyata bukan
semata sebagai sarana yang memiliki fungsi sebagai sarana yang informative
saja. Tetapi juga jurnalisme harus memiliki sifat-sifat seperti sarana yang
mendidik (to Educate), sarana yang
menghibur (to entertaint), dan
sebagai sarana untuk control sosial (to
contol social). Dalam hal ini media cetak atau media online yang bergerak
di bidang jurnalisme sudah seharusnya memperkenalkan kepada publik apa yang
menjadi inti sari dari fungsi media itu sendiri.
Media
massa saat ini masih banyak yang kurang memperhatikan fungsi dari media itu
sendiri. Beberapa masalah sering terjadi dalam kasus pelanggaran bermedia.
Salah satunya biasa disebut dengan istilah sisi lain dalam politik bermedia.
Memang, media pada saat ini masih memiliki banyak kekurangan dalam hal
menginformasikan secara tegas tanpa ada unsur kesengajaan. Baik dalam hal membumbuhi
keterangan-keterangan yang berlebihan atau hal yang bisa menimbulkan berbagai
macam pertentangan akibat suatu pemberitaan tersebut. Miris, ketika banyak
pemberitaan yang memiliki sifat untuk melebih-lebihkan isi dari pemberitaan
demi meraup perhatian khalayak publik.
Untuk
hal-hal demikianlah yang menjadi landasan para pemerhati khalayak media massa
merasa canggung dalam mengkonsumsi media massa. Dari beberapa referensi bisa dilihat
dan kita jumpai banyak sekali situs online media massa baik lokal maupun
nasional menyertakan iklan dewasa dalam websitenya untuk mendapatkan keuntungan
dalam dunia periklanan. Iklan dewasa dalam hal ini selalu memiliki objek yang
cukup jelas yaitu perempuan. Banyak media yang masih berfikir jika objek
perempuan dalam iklan dewasa merupakan hal yang lebih menarik dibandingkan
dengan iklan produk yang ingin di publikasikan. Hal ini dikarenakan banyak dari
khalayak juga yang mempengaruhi rating dalam kunjungan ke setiap situs online
yang memiliki iklan dewasa lebih tinggi dibandingkan dengan situs online yang
hanya memasang iklan mengenai produk-produknya secara langsung.
Masih
banyak unsur-unsur vulgarisme dalam jurnalisme dan media massa salah satu
contoh lagi pada media massa cetak yang masih bertahan pada era digital ini.
Media massa cetak juga mulai melirik peluang bisnis di bidang periklanan produk
dewasa yang cenderung memiliki potensi untuk merubah mindset masyarakat publik mengenai produk-produk dewasa sebagai
konsumsi yang wajar bagi masyarakat luas. Semakin sering masyarakat media
menghadapi hal demikian maka semakin wajar hal tersebut bebas terlaksana. Hal
inilah yang biasa di sebut teori jarum suntik media, jika media sudah menjejali
secara terus menerus mengenai suatu informasi yang akan menjadi pola pandangan
masyarakat luas dan hanya akan berpacu kedalam suatu topik yang secara
terus-menerus dikonstruksikan kepada masyarakat luas.
Mengapa iklan dewasa cenderung
mempergunakan perempuan sebagai objek promosi suatu produk di dalam iklan? Hal
tersebutlah yang menjadi pertanyaan sampai saat ini. Sebenarnya bukan hanya
iklan yang menyajikan perempuan sebagai objek dalam menarik minat khalayak
publik untuk memikat konsumen suatu produk. Di dalam berita juga banyak di
jumpai hal-hal yang mendiskriminasi suatu permasalahan yang di hadapi oleh
perempuan. Banyak kasus pemerkosaan yang disamarkan pada bagian kata
“pemerkosaan” yang sudah dig anti dengan kata yang kurang menunjukkan bahwa
pemerkosaan adalah hal yang kejam. Dalam istilah pengganti untuk pemerkosaan
dalam isi berita biasanya diganti dengan kata digagahi, digauli, dicabuli, menggagahi,
dianui, dikumpuli, menipu luar dalam, digilir, dinodai, digarap.
Setiap hari surat kabar dan media masa
memberitakan tentang perempuan, seperti pemerkosaan, pelecehan seksual,
perselingkuhan, pornografi, bahkan cerita-cerita yang “aduhai syur.” Dan berita
peristiwa itu perempuan banyak ditempatkan sebagai objek. Dalam penelitian yang
dilakukan oleh PPK UGM (1995/1996) berkerjasama dengan Ford Foundation
mengenai berita-berita kekerasan
terhadap perempuan (khususnya pemerkosaan) dalam beberapa surat kabar, lebih
banyak menonjolkan sebuah keperkasaan laki-laki (pemerkosa) dibandingkan
bagaimana penderitaan perempuan korban pemerkosaan. Lead berita menampilkan
pelaku (59,9%), korban (35,5%), petugas (3,3%), saksi (0,7%) dan narasumber
(0,7%). (Ahmad Zaini Akbar:1998)
Menurut Ahmad Zaini Akbar, kata memperkosa
yang diganti dengan merenggut kegadisan menimbulkan asosiasi pembaca pada
tindakan merebut dengan paksa, suatu tindakan yang cenderung hanya fisik saja.
Padahal kejadian pemerkosaan bukan hanya fisik semata tetapi juga psikis dan
pukulan batin. Kata itu terkesan menghaluskan atau memperlunak tindakan
sesungguhnya yang jelas melahirkan penderitaan berkepanjangan bagi korban.
Diksi mencabuli terasa menyederhanakan fakta pemerkosaan. Kata cabul
mengasosiasikan pada perbuatan asusila, tidak senonoh, tidak sopan atau tidak
patut. Padahal perbuatan perkosaan bukan hanya sekedar perbuatan asusila tetapi
sebuah tragedi kemanusiaan yang dalam, dimana kaum perempuan dihancurkan rasa
kesucian, citra diri dan jiwanya.
Yang lebih parah adalah kata dianui,
dikumpuli, ditipu luar dalam, digarap, digilir adalah pilihan kata yang sangat
menjauhkan pembaca dari kenyataan malah justru mereduksi fakta yang
sesungguhnya. Tindakan pemerkosaan dikesankan sebagai perbuatan yang normal,
bukan tragedi yang menyedihkan, memilukan bagi korban. Jika kemudian perkosaan
dilukiskan hanya sebagai peristiwa yang sederhana, biasa, main-main, remeh atau
bahkan peristiwa humor/lucu belaka, berita pemerkosaan menjadi berita hiburan
segar bagi pembaca.
Dengan demikian berita pemerkosaan selain
tidak edukatif juga sulit melahirkan keprihatinan, empati, simpati masyarakat
terhadap korban. Masyarakat menganggap itu sebagai hal yang remeh, biasa dan
lucu serta menumpulkan daya kritis dan rasa solidaritas kemanusiaan pembaca
terhadap perempuan korban perkosaan.
III.
Penutup
dan kesimpulan.
Dari berbagai gambaran mengenai penggunaan
kata mengenai seks yang di samarkan. Dapat di simpulkan bahwa kebiasaan
menggunakan kata yang kurang tepat dapat merubah persepsi suatu sudut pandang
dalam memaknai sesuatu mengenai kepenulisan. Berbagai macam referansi yang di
suguhkan banyak menyebutkan bahwa perempuan adalah hal yang biasa menjadi
korban dalam penggunaan kata-kata seks
yang disamarkan. Perempuan cenderung menjadi objek untuk daya jual suatu karya
tulis pada era ini.
Banyak diantaranya yang sengaja tidak
memperlihatkan betapa ironisnya suatu penggambaran kejadian yang tragis malah
menjadi hal yang biasa-biasa saja. Atau bahkan sudah menjadi hal yang lumrah
bagi banyak kalangan dalam memaknai suatu kejadian dari penggambaran suasana
dalam suatu kepenulisan. Dalam kajian paradigma sosiologi sastra bahwa semua
hal mengenai sastra juga di pengaruhi oleh kondisi sosial pada waktu dan tempat
terjadinya suatu kejadian yang menjadi fenomena sosial tersebut.
Maka, kesadaran dalam hal ini merupakan
hal yang patut di tekankan untuk memperoleh gambaran yang pasti dalam sebuah
kejadian atau penggambaran suatu situasi dan kondisi di dalam suatu karya
sastra maupun jurnalisme.
IV.
Referensi
Abdullah, Irwan (ed.). 2003. Sangkan Paran Gender. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Anshori, dkk. 1997. Feminisme Refleksi
Muslimah Atas Peran Sosial Kaum Wanita. Bandung: Pustaka Hidayah.
Barten, K. 1999. Etika. Jakarta:
Gramedia
Basuki,
Fira. 2002. Jendela-jendela. Jakrta: Grasindo.
Beauvoir,
Simon de. 2003. Second Sex: Kehidupan
Perempuan. (terj. Toni B. Febrianto dari The Second Sex, Book Two: Women’s Life Today). Surabaya: Pustaka Promethea.
Ciciek, F. 1999. Ikhtisar
Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga. Jakarta: LKAJ, PSP, The Asia
Foundation.
Darma, Budi. 2003. Feminisme
dan lain-lain (Handout Mata Kuliah Apresiasi dan Kritik Sastra). Surabaya:
Tidak diterbitkan.
Departemen Agama RI. 1989. Al
Quran dan Terjemahannya. Surabaya: Jaya Sakti.
Djajanegara,
Soenarjati. 2003. Kritik Sastra
Feminisme. Jakarta: Gramedia.
Djannah, Fathul, dkk. 2003. Kekerasan
terhadap Istri. Yogyakarta: LKIS.
Fakih, Mansoer. 2003. Analisis
Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fananie, Zainuddin. 2000. Telaah
Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Faruk. 1999. Pengantar
Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gillespie, Dairl. 1971. Who has the Dower? The Marital Struggle. Journal
of Marriage and Family.
Handayani, Trisakti dan
Sugiarti. 2002. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang: UMM Press.
Heidenrich, Charles A. 1970. Personality
and Social Adjusment. California: Kendall/Hunt Publishing Company.
Herlinatiens.
2003. Garis Tepi Seorang Lesbian. Yogyakarta: Galang Press.
Heroepoetri, Arimbi & R. Valentina. 2004. Percakapan
tentang Feminisme vs Neoliberalisme. Jakarta: debt WATCH.
Hutomo, Suripan Sadi. 1993. Melawan
Kucuran Keringat: Kumpulan Kritik, Esai, dan Apresiasi Sastra. Surabaya:
Gaya Masa.
Khalieqi,
Abidah El. 2004. Geni Jorah. Yogyakarta: Matahari.
Kalibonso, R.S. 2000. Kekerasan
terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga sebagai Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Dalam
A.S. Luhalima (ed.). pemahaman terhadap Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap
Perempuan dan Alternatif pemecahannya. Jakarta: Kelompok Kerja ”Conventiont
Watch”, Pusat Kajian Wanita dan Feweler.
Krippendrof, Klauss,1993. Analisis Isi:
Pengantar Teori dan Metodologi. Jakarta: Raya Grafindo Persada.
Kumala,
Ratih. 2004. Tabularasa. Jakarta: Grasindo.
Lestari,
Dewi. 2001. Supernova: Kstaria, Putri, dan Bintang Jatuh. Bandung:
Truedee Books.
Levi, M.
1994. “Violen Crime”. In Maquire M.R. Morgan & R. Reiner (Eds.). The
Oxford Handbook of Criminology. Oxford: Clarendon Press.
Maskowitz, MarleJ. dan Arthur R. Ogel. 1969. General Psychology.
Boston: Hough Muffin Company.
Millet, Kate. 1969. Sexual
Politics. New York: Bleday, Co.
Moleong, Lexi J. 1991. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Muhadjir, N. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi
IV). Yogyakarta: Rake Sarasin.
Murniati A. Nunuk. 2004. Getar
Gender. Magelang: Indonesiatera.
Muslikhati, Siti. 2004. Feminisme
dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam. Jakarta: Gema Insani.
Muthali`in, Achmad. 2001. Bias Gender dan
Pendidikan. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Nasution,
Johan. 1996. Penelitian Masyarakat. Bandung: Intermasa.
Nurgiyantoro,
Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:
UGM Press.
Poerwadarminto,
W.J.S. 1985. Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Rusmini,
Oka. 2003. Kenanga. Jakarta: Grasindo.
Sartika,
Dewi. 2004. Dadaisme. Yogyakarta: Matahari.
Saini,
K.M. 1989. Protes Sosial dalam Sastra. Bandung: Angkasa
Selden,
Raman. 1996. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. (terj. Rachmad Joko
Pradopo). Yogyakarta: Gadja Mada University Press.
Srengenge,
Sitok (ed.). 2004. Prosa: Yang Jelita Yang Bercerita. (Edisi 4).
Jakarta: Metafor Publising
Subono,
Imam Nur. 2001. Perempuan Dunia Ketiga dan Feminisme: Berjalan Seiring atau
Bersimpangan Jalan? Jurnal Perempuan, hlm. 59 – 69. Yogyakarta: Yayasan YJP.
Sunarto.
1990. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif
dan Kualitatif). Surabaya: Unesa University Press.
Supratno,
Haris. 1996. Wayang Sasak lakon Dewi Rengganis dalam Konteks Perubahan
Masyarakat di Lombok (Kajian Sosiologi Kesenian). Disertasi. Surabaya: PPs
Unair.
Utami,
Ayu. 2003. Saman. Jakarta: KPG.
Wellek,
Rene dan Austin Warren. 1990. Teori
Kesusastraan (terj. Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.