Posted by : Hery Amariansyah Tuesday, 30 September 2014



ARTIKEL ILMIAH
PEREMPUAN DALAM ERA JURNALISME PUBLIK




NAMA :
1.     HERY AMARIANSYAH
2.     FERRY PUTRA DWI FERDANA





ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2014/2015

Perempuan Di Era Jurnalisme Publik
I.                   Pendahuluan
Suatu anggapan salah apabila menganggap hal yang sudah biasa terjadi dan biasa dikonsumsi adalah sebuah hal yang lumrah dan wajib untuk dimaklumi. Tidak dipungkiri dalam hal jurnalisme atau biasa di kenal dengan bidang kepenulisan masih banyak kekeliruan dalam memaknai dan memaklumi sesuatu yang sudah dianggap biasa. banyak hal yang dimaklumi malah menimbulkan semacam perubahan sosial dalam aspek kepekaan sosial. Menganai  jurnalisme adalah hal yang biasa berhubungan dengan banyak hal mengenai kepenulisan. Bukan lagi hal yang lumrah jika menyisipkan atau mempergunakan sebuah kata-kata Sexist[1] dalam penggunaan dan peruntukan bagi kepenulisan untuk menggait minat pembaca. Dengan permasalahan mengenai banyaknya masyarakat yang mulai menggiati dunia kepenulisan. Baik dalam hal sastra atau pun kepenulisan ilmiah hal-hal yang berbau seks sering disamarkan atau sengaja tidak diperlihatkan demi menjaga kenyamanan para pembaca dengan alasan supaya tidak terlalu vulgar[2].
Di dalam sebuah dunia jurnalisme yang tentunya mengenai kepenulisan. Hampir semua orang sudah mengenal jenis-jenis tulisan. Baik dalam hal karya sastra maupun sarana untuk memberikan informasi kepada publik dalam hal pemberitaan pada media massa. Dengan seiring berjalannya waktu dan era yang semakin global. Maka sedikit banyak juga mempengaruhi gaya dan teknik dalam kemajuan dunia jurnalisme. Di era ini dikenal sebagai era jurnalisme modern. Begitu banyak penggiat sastra dan penggiat dunia jurnalistik diiringi juga dengan semakin berkembangnya minat penggemar, pengamat atau pun publik yang hanya ingin mengetahui sebuah informasi yang terjadi pada saat ini.
Namun, hal ini juga yang mendorong berbagai penulis melakukan hal-hal yang lebih kreatif dan inovatif untuk mendongkrak daya jual suatu tulisan yang sudah diciptakan. Tapi, ada juga penulis yang sengaja membubuhi karyanya dengan hal-hal yang bersifat sexist untuk mendapatkan perhatian lebih dalam hal kepenulisan dan minat baca masyarakat pada umumnya. Dalam hal ini banyak sekali praktik kepenulisan yang menggunakan bahasa sexist yang itu justru membuat samar sebuah arti dari hal mengenai seks tersebut.
Sampai dengan pembuatan novel, cerpen, puisi, bahkan sebuah pemberitaan cenderung mengalihkan perhatiannya kepada kepenulisan mengarah menuju ke inti dari sebuah kata dan kalimat yang tepat makna. Pembaca semakin dijauhkan dengan adanya bahasa sexist ini dikarenakan kata-kata yang banyak mengandung kiasan atau semacam bercandaan bagi kaum penulis modern. Banyak kasus tindakan asusila, pemerkosaan, bahkan hal yang bersifat mengancam psikis atau keadaan seseorang di dalam memaknai sebuah kata ganti untuk menyamarkan berbagai kegiatan seks.
Untuk itu mengapa hal ini perlu dicermati dan dipahami lebih dalam lagi. Dengan sikap demikian diharapkan pembaca pun mengetahui ada banyak permasalahan dalam kepenulisan di era global ini. Hal itu pun tidak menutup kemungkinan akan terjadinya salah penyampaian makna atau bahkan salah dalam memahami suatu bacaan-bacaan yang secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku kita dalam menyikapi kejadian-kejadian sosial  di sekitar kita.
Dengan harapan yang begitu besar terhadap perkembangan dunia kepenulisan maka setidaknya kita mulai berlatih untuk tetap mengkritisi apapun kejadian-kejadian yang digambarkan dalam sebuah karya sastra maupun informasi yang berkembang di masyarakat pada saat ini. Kita sebagai manusia pun tak bisa menghindari dari berbagai ancaman mengenai penyamaran tata bahasa yang digunakan dalam kepenulisan. Hanya bisa mengantisipasi untuk tidak terlalu terjerumus dalam memilah dan memilih sebuah karya yang dihasilkan oleh bidang jurnalisme.
Untuk menyikapi hal demikian perlu kita cermati mengenai hal-hal yang sering di pergunakan untuk menyalurkan bahasa sexist dalam suatu kepenulisan. Di dalam artikel ini akan di jelaskan mengenai berbagai karya maupun tulisan yang biasa menggunakan bahasa sexist dalam kepenulisannya.


II.                Pembahasan
Perempuan dalam sastra, kesastraan penulis tidak lepas dari kata emansipasi
Keberadaan karya sastra di tengah-tengah masyarakat tidak dapat dilepaskan dari keberadaan masyarakat itu sendiri. Sastra hidup karena ada masyarakat penciptanya, yaitu pengarang sebagai author.  Di samping itu, sastra hidup dari  roh  masyarakat,  artinya  masyarakat sebagai objek penceritaan. Dalam hal ini,  Faruk  (1999:vi)  menyatakan bahwa  membicarakan  karya  sastra sesungguhnya tidak terlepas pada masyarakat. Ini berarti bahwa kehadiran karya sastra merupakan refleksi dari keberadaan masyarakat. Dapat juga sebagai suara hati pengarang dengan melihat pada realita yang ada di sekitarnya, baik yang dialami sendiri maupun hasil peneropongan atau pengamatan atas perilaku masyarakat dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya.
Erat kaitannya dengan hal tersebut, perkembangan sastra akhir-akhir ini ditandai dengan kemunculan beberapa perempuan yang memosisikan dirinya sebagai pengarang. Kehadiran mereka turut mewarnai khasanah sastra Indonesia mutakhir. Mereka menjadikan perempuan dan eksistensinya sebagai sumber ide dalam penceritaan. Di antara mereka adalah orang-orang yang masih berusia muda, sebut saja: Ayu Utami (Utami), Dewi Lestari (Lestari), Fira Basuki (Basuki), Nova Riyanti Yusuf (Yusuf), Oka Rusmini (Rusmini), Herlinatiens, Ratih Kumala (Kumala), Dewi Sartika (Sartika), Abidah El Khalieqy (Khalieqy), Djenar Maesa Ayu (Ayu), Rieke Diah Pitaloka (Pitaloka), dan lain-lain.
Utami menulis Saman dan Larung. Lestari menulis Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh, kemudian disusul Akar dan Petir. Basuki dengan trilogi novelnya Jendela-jendela, Pintu, dan Atap, kemudian novel terbarunya Biru. Yusuf menulis Mahadewa Mahadewi. Rusmini populer dengan novelnya Sagra, Tarian Bumi, dan Kenanga. Herlinatiens menulis Garis Tepi Seorang Lesbian. Sartika menulis Dadaisme. Khalieqy menulis Geni Jora. Kumala menulis Tabularasa. Ketiga judul novel terakhir adalah novel tebaik dan meraih gelar juara I, II, dan III dalam lomba penulisan novel yang diselenggarakan DKJ tahun 2003. Ayu terkenal dengan cerpen-cerpennya. Salah satu cerpennya Waktu Nayla terpilih sebagai cerpen terbaik 2003 yang dimuat di harian Kompas. Di samping itu, telah terbit dua kumpulan cerpennya, yaitu Jangan Main-Main (dengan Alat Kelaminmu) dan Mereka Bilang Saya Monyet. Sementara itu, Pitaloka menulis Renungan Kloset (kumpulan puisi) yang ditulis antara tahun 1998 – 2003.
Melihat kekuatan dan kreativitas para perempuan pengarang di atas, Damono (dalam Srengenge, 2004:84) mengatakan bahwa tanpa harus memberikan peringkat ke-sastra-an atau ke-populer-an (seolah-olah keduanya dapat dibedakan), di masa mendatang mungkin perkembangan sastra kita akan ditentukan oleh perempuan. Hal ini bukanlah sesuatu yang berlebihan karena akhir-akhir ini sebagian besar karya sastra yang terpampang di etalase-etalase pertokoan didominasi kaum hawa tersebut.
Para perempuan pengarang tersebut menjadikan perempuan sebagai objek penceritaan. Perempuan masih dianggap sebagai makhluk yang lemah. Perempuan masih diidentikkan dengan urusan rumah tangga. Perempuan masih dipandang sebagai ibu rumah tangga yang harus setia melayani suami dan mengasuh anak-anaknya. Keberhasilan anak dalam pendidikan maupun karier menjadi tolok ukur keberhasilan peran ibu dalam mendidik putra-putrinya. Hal yang demikian secara langsung maupun tidak telah melahirkan ketidakadilan terhadap perempuan. Perempuan memikul beban berat dibandingkan laki-laki dalam urusan rumah tangga. Hal ini juga tidak terkecuali bagi perempuan yang bekerja (wanita karier). Mereka terbebani dengan tugas ganda, di samping bekerja, mereka juga mengurusi rumah tangga.
Anggapan laki-laki lebih berkuasa dan dominan dalam masyarakat di banyak bidang sangat merugikan kaum perempuan. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan perempuan di tengah-tengah laki-laki dalam suatu pekerjaan, perempuan selalu mendapatkan perlakuan yang tidak menunjukkan keprofesionalannya. Ada keraguan di antara mereka tentang kemampuan yang dimiliki perempuan. Kemampuan perempuan dianggap tidak sepadan dengan laki-laki sehingga dalam suatu lembaga sulit ditemukan perempuan sebagai pemegang kendali atau pimpinan tertinggi di lembaga tersebut. Kalaupun ada perempuan yang memegang jabatan tertinggi, hal itu tidak terlepas dari bayang-bayang laki-laki di sekitarnya.
Di samping hal-hal di atas, masih banyak pendapat dan pandangan yang menyampingkan peran perempuan. Pernyataan-pernyataan atau sikap-sikap yang merugikan kaum perempuan seakan menjadi alur yang tidak berkesudahan. Harkat dan martabat perempuan walaupun telah dihargai, tetap menyisahkan pandangan-pandangan negatif yang merendahkan kaum perempuan. Banyaknya kasus perkosaan, pelecehan seksual, kekerasan suami terhadap istri merupakan contoh terjadinya ketidakadilan terhadap perempuan. Citra negatif ini didukung oleh fakta di lapangan, bahwa laki-laki memiliki peran dan posisi yang lebih baik dan menguntungkan dibandingkan perempuan.



Perempuan Di Mata Jurnalisme dan Pemasaran Periklanan
Dunia jurnalisme sampai saat ini masih digandrungi oleh berbagai kalangan. Di mulai dari yang muda hingga yang tua dan dari orang kaya hingga orang menengah kebawah. Jurnalisme sebagai sarana publik untuk mewadahi informasi-informasi yang dibutuhkan oleh khalayak media massa. Dalam dunia jurnalisme ternyata bukan semata sebagai sarana yang memiliki fungsi sebagai sarana yang informative saja. Tetapi juga jurnalisme harus memiliki sifat-sifat seperti sarana yang mendidik (to Educate), sarana yang menghibur (to entertaint), dan sebagai sarana untuk control sosial (to contol social). Dalam hal ini media cetak atau media online yang bergerak di bidang jurnalisme sudah seharusnya memperkenalkan kepada publik apa yang menjadi inti sari dari fungsi media itu sendiri.
            Media massa saat ini masih banyak yang kurang memperhatikan fungsi dari media itu sendiri. Beberapa masalah sering terjadi dalam kasus pelanggaran bermedia. Salah satunya biasa disebut dengan istilah sisi lain dalam politik bermedia. Memang, media pada saat ini masih memiliki banyak kekurangan dalam hal menginformasikan secara tegas tanpa ada unsur kesengajaan. Baik dalam hal membumbuhi keterangan-keterangan yang berlebihan atau hal yang bisa menimbulkan berbagai macam pertentangan akibat suatu pemberitaan tersebut. Miris, ketika banyak pemberitaan yang memiliki sifat untuk melebih-lebihkan isi dari pemberitaan demi meraup perhatian khalayak publik.
            Untuk hal-hal demikianlah yang menjadi landasan para pemerhati khalayak media massa merasa canggung dalam mengkonsumsi media massa. Dari beberapa referensi bisa dilihat dan kita jumpai banyak sekali situs online media massa baik lokal maupun nasional menyertakan iklan dewasa dalam websitenya untuk mendapatkan keuntungan dalam dunia periklanan. Iklan dewasa dalam hal ini selalu memiliki objek yang cukup jelas yaitu perempuan. Banyak media yang masih berfikir jika objek perempuan dalam iklan dewasa merupakan hal yang lebih menarik dibandingkan dengan iklan produk yang ingin di publikasikan. Hal ini dikarenakan banyak dari khalayak juga yang mempengaruhi rating dalam kunjungan ke setiap situs online yang memiliki iklan dewasa lebih tinggi dibandingkan dengan situs online yang hanya memasang iklan mengenai produk-produknya secara langsung.
            Masih banyak unsur-unsur vulgarisme dalam jurnalisme dan media massa salah satu contoh lagi pada media massa cetak yang masih bertahan pada era digital ini. Media massa cetak juga mulai melirik peluang bisnis di bidang periklanan produk dewasa yang cenderung memiliki potensi untuk merubah mindset masyarakat publik mengenai produk-produk dewasa sebagai konsumsi yang wajar bagi masyarakat luas. Semakin sering masyarakat media menghadapi hal demikian maka semakin wajar hal tersebut bebas terlaksana. Hal inilah yang biasa di sebut teori jarum suntik media, jika media sudah menjejali secara terus menerus mengenai suatu informasi yang akan menjadi pola pandangan masyarakat luas dan hanya akan berpacu kedalam suatu topik yang secara terus-menerus dikonstruksikan kepada masyarakat luas.
Mengapa iklan dewasa cenderung mempergunakan perempuan sebagai objek promosi suatu produk di dalam iklan? Hal tersebutlah yang menjadi pertanyaan sampai saat ini. Sebenarnya bukan hanya iklan yang menyajikan perempuan sebagai objek dalam menarik minat khalayak publik untuk memikat konsumen suatu produk. Di dalam berita juga banyak di jumpai hal-hal yang mendiskriminasi suatu permasalahan yang di hadapi oleh perempuan. Banyak kasus pemerkosaan yang disamarkan pada bagian kata “pemerkosaan” yang sudah dig anti dengan kata yang kurang menunjukkan bahwa pemerkosaan adalah hal yang kejam. Dalam istilah pengganti untuk pemerkosaan dalam isi berita biasanya diganti dengan kata digagahi, digauli, dicabuli, menggagahi, dianui, dikumpuli, menipu luar dalam, digilir, dinodai, digarap.
Setiap hari surat kabar dan media masa memberitakan tentang perempuan, seperti pemerkosaan, pelecehan seksual, perselingkuhan, pornografi, bahkan cerita-cerita yang “aduhai syur.” Dan berita peristiwa itu perempuan banyak ditempatkan sebagai objek. Dalam penelitian yang dilakukan oleh PPK UGM (1995/1996) berkerjasama dengan Ford Foundation mengenai  berita-berita kekerasan terhadap perempuan (khususnya pemerkosaan) dalam beberapa surat kabar, lebih banyak menonjolkan sebuah keperkasaan laki-laki (pemerkosa) dibandingkan bagaimana penderitaan perempuan korban pemerkosaan. Lead berita menampilkan pelaku (59,9%), korban (35,5%), petugas (3,3%), saksi (0,7%) dan narasumber (0,7%). (Ahmad Zaini Akbar:1998)
Menurut Ahmad Zaini Akbar, kata memperkosa yang diganti dengan merenggut kegadisan menimbulkan asosiasi pembaca pada tindakan merebut dengan paksa, suatu tindakan yang cenderung hanya fisik saja. Padahal kejadian pemerkosaan bukan hanya fisik semata tetapi juga psikis dan pukulan batin. Kata itu terkesan menghaluskan atau memperlunak tindakan sesungguhnya yang jelas melahirkan penderitaan berkepanjangan bagi korban. Diksi mencabuli terasa menyederhanakan fakta pemerkosaan. Kata cabul mengasosiasikan pada perbuatan asusila, tidak senonoh, tidak sopan atau tidak patut. Padahal perbuatan perkosaan bukan hanya sekedar perbuatan asusila tetapi sebuah tragedi kemanusiaan yang dalam, dimana kaum perempuan dihancurkan rasa kesucian, citra diri dan jiwanya.
Yang lebih parah adalah kata dianui, dikumpuli, ditipu luar dalam, digarap, digilir adalah pilihan kata yang sangat menjauhkan pembaca dari kenyataan malah justru mereduksi fakta yang sesungguhnya. Tindakan pemerkosaan dikesankan sebagai perbuatan yang normal, bukan tragedi yang menyedihkan, memilukan bagi korban. Jika kemudian perkosaan dilukiskan hanya sebagai peristiwa yang sederhana, biasa, main-main, remeh atau bahkan peristiwa humor/lucu belaka, berita pemerkosaan menjadi berita hiburan segar bagi pembaca.
Dengan demikian berita pemerkosaan selain tidak edukatif juga sulit melahirkan keprihatinan, empati, simpati masyarakat terhadap korban. Masyarakat menganggap itu sebagai hal yang remeh, biasa dan lucu serta menumpulkan daya kritis dan rasa solidaritas kemanusiaan pembaca terhadap perempuan korban perkosaan.



III.             Penutup dan kesimpulan.
Dari berbagai gambaran mengenai penggunaan kata mengenai seks yang di samarkan. Dapat di simpulkan bahwa kebiasaan menggunakan kata yang kurang tepat dapat merubah persepsi suatu sudut pandang dalam memaknai sesuatu mengenai kepenulisan. Berbagai macam referansi yang di suguhkan banyak menyebutkan bahwa perempuan adalah hal yang biasa menjadi korban  dalam penggunaan kata-kata seks yang disamarkan. Perempuan cenderung menjadi objek untuk daya jual suatu karya tulis pada era ini.
Banyak diantaranya yang sengaja tidak memperlihatkan betapa ironisnya suatu penggambaran kejadian yang tragis malah menjadi hal yang biasa-biasa saja. Atau bahkan sudah menjadi hal yang lumrah bagi banyak kalangan dalam memaknai suatu kejadian dari penggambaran suasana dalam suatu kepenulisan. Dalam kajian paradigma sosiologi sastra bahwa semua hal mengenai sastra juga di pengaruhi oleh kondisi sosial pada waktu dan tempat terjadinya suatu kejadian yang menjadi fenomena sosial tersebut.
Maka, kesadaran dalam hal ini merupakan hal yang patut di tekankan untuk memperoleh gambaran yang pasti dalam sebuah kejadian atau penggambaran suatu situasi dan kondisi di dalam suatu karya sastra maupun jurnalisme.


IV.             Referensi
Abdullah, Irwan (ed.). 2003. Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Anshori, dkk. 1997. Feminisme Refleksi Muslimah Atas Peran Sosial Kaum Wanita. Bandung: Pustaka Hidayah.
Barten, K. 1999. Etika. Jakarta: Gramedia
Basuki, Fira. 2002. Jendela-jendela. Jakrta: Grasindo.
Beauvoir, Simon de. 2003. Second Sex: Kehidupan Perempuan. (terj. Toni B. Febrianto dari The Second Sex, Book Two: Women’s Life Today). Surabaya: Pustaka Promethea.
Ciciek, F. 1999. Ikhtisar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga. Jakarta: LKAJ, PSP, The Asia Foundation.
Darma, Budi. 2003. Feminisme dan lain-lain (Handout Mata Kuliah Apresiasi dan Kritik Sastra). Surabaya: Tidak diterbitkan.
Departemen Agama RI. 1989. Al Quran dan Terjemahannya. Surabaya: Jaya Sakti.
Djajanegara, Soenarjati. 2003. Kritik Sastra Feminisme. Jakarta: Gramedia.
Djannah, Fathul, dkk. 2003. Kekerasan terhadap Istri. Yogyakarta: LKIS.
Fakih, Mansoer. 2003. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fananie, Zainuddin. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gillespie, Dairl. 1971. Who has the Dower? The Marital Struggle. Journal of Marriage and Family.
Handayani, Trisakti dan Sugiarti. 2002. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang: UMM Press.
Heidenrich, Charles A. 1970. Personality and Social Adjusment. California: Kendall/Hunt Publishing Company.
Herlinatiens. 2003. Garis Tepi Seorang Lesbian. Yogyakarta: Galang Press.
Heroepoetri, Arimbi & R. Valentina. 2004.  Percakapan tentang Feminisme vs Neoliberalisme. Jakarta: debt WATCH.
Hutomo, Suripan Sadi. 1993. Melawan Kucuran Keringat: Kumpulan Kritik, Esai, dan Apresiasi Sastra. Surabaya: Gaya Masa.
Khalieqi, Abidah El. 2004. Geni Jorah. Yogyakarta: Matahari.
Kalibonso, R.S. 2000. Kekerasan terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga sebagai Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Dalam A.S. Luhalima (ed.). pemahaman terhadap Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan dan Alternatif pemecahannya. Jakarta: Kelompok Kerja ”Conventiont Watch”, Pusat Kajian Wanita dan Feweler.
Krippendrof, Klauss,1993. Analisis Isi: Pengantar Teori dan Metodologi. Jakarta: Raya Grafindo Persada.
Kumala, Ratih. 2004. Tabularasa. Jakarta: Grasindo.
Lestari, Dewi. 2001. Supernova: Kstaria, Putri, dan Bintang Jatuh. Bandung: Truedee Books.
Levi, M. 1994. “Violen Crime”. In Maquire M.R. Morgan & R. Reiner (Eds.). The Oxford Handbook of Criminology. Oxford: Clarendon Press.
Maskowitz, MarleJ. dan  Arthur R. Ogel. 1969. General Psychology. Boston: Hough Muffin Company.
Millet, Kate. 1969. Sexual Politics. New York: Bleday, Co.
Moleong, Lexi J. 1991. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Muhadjir, N. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi IV). Yogyakarta: Rake Sarasin.
Murniati A. Nunuk. 2004. Getar Gender. Magelang: Indonesiatera.
Muslikhati, Siti. 2004. Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam. Jakarta: Gema Insani.
Muthali`in, Achmad. 2001. Bias Gender dan Pendidikan. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Nasution, Johan. 1996. Penelitian Masyarakat. Bandung: Intermasa.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: UGM Press.
Poerwadarminto, W.J.S. 1985. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Rusmini, Oka. 2003. Kenanga. Jakarta: Grasindo.
Sartika, Dewi. 2004. Dadaisme. Yogyakarta: Matahari.
Saini, K.M. 1989. Protes Sosial dalam Sastra. Bandung: Angkasa
Selden, Raman. 1996. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. (terj. Rachmad Joko Pradopo). Yogyakarta: Gadja Mada University Press.
Srengenge, Sitok (ed.). 2004. Prosa: Yang Jelita Yang Bercerita. (Edisi 4). Jakarta: Metafor Publising
Subono, Imam Nur. 2001. Perempuan Dunia Ketiga dan Feminisme: Berjalan Seiring atau Bersimpangan Jalan? Jurnal Perempuan, hlm. 59 – 69. Yogyakarta: Yayasan YJP.
Sunarto. 1990. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif). Surabaya: Unesa University Press.
Supratno, Haris. 1996. Wayang Sasak lakon Dewi Rengganis dalam Konteks Perubahan Masyarakat di Lombok (Kajian Sosiologi Kesenian). Disertasi. Surabaya: PPs Unair.
Utami, Ayu. 2003. Saman. Jakarta: KPG.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan (terj. Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.



[1] Kata ganti mengenai hal yang berhubungan dengan seks
[2] Hal mengenai seks yang digambarkan secara jelas

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Berlangganan Sinyal FX?

JustForex

Followers

Popular Post

- Copyright &SHIE; artorlife -Diberdayakan- Powered by Blogger - Designed by SHIE -