Mati Nyaman
Lakukan apa yang bisa membuatmu nyaman.
Gunakan sesukamu waktu yang dihamburkan.
Entah, untuk apa semua itu digandangkan.
Bukan berarti salah kau mengartikan.
Tapi, inilah rasa nyaman.
Inilah tentram dihasut sedikit demi sedikit untuk rentan.
Menjilat-jilat bak api kuncurupan.
Datang mengiba dan bertanya.
Apa kau masih nyaman.
Masih saja tetap kau katakana nyaman.
Tanpa sadar kau meniti hari dengan nyaman.
Perlahan kau lupakan permasalahan.
Tertambat dalam sanubari se-ekor banaspati.
Sebuah pedang kenyamanan telah tertancap.
Sudah begitu lama dan lesu tampaknya.
Biarkan, jangan dicabut pedang pengekang.
Tambahkan sedikit lumuran kenyamanan.
Kau lihat kini, ia tak lagi tegar.
Menghadapi permasalahan yang dilupakan.
Menghilang tak sempat terselesaikan.
Semua hanya nyaman untuk sebuah ketiadaan.
Bangkalan, 09 Nopember
2014
Akhir Pengulangan
Apa ini yang disebut pengulangan.
Saat luka dibatasi oleh rahang kering keputusasaan.
Bukan derita yang sempat teriris meringis.
Malam tak lagi menampakkan wujudnya.
Dalam terang tak terikat sepakat.
Saat langit mulai gila.
Akan dijumpai hal yang tidak biasa.
Di ujung persada yang terkapar.
Menggelepar-gelepar bak teri tangkapan.
Linangan air gusar masih mengalir.
Melintasi muara yang lalu telah lewat.
Menggegerkan, selugu air gusar.
Kembali menyeruak, untuk kembali.
Takkan berarti … Mati!!!
Bangkalan, 09 Nopember
2014
Lembar Lapuk
Berpura rupa sudah biasa.
Tapi, tingkah tetap berupaya, tetap berdaya.
Ku goreskan lagi tinta pada lembar kertas putih.
Panjang lebar ku tulis noktah biru.
Lebih kelabu di malam larut.
Dengan begitu muram ku kerutkan.
Bait perbait kata yang ku tulis.
Tak begitu cocok menggambarkan.
Melukis suasana-suasana hati.
Ku sadari jika memang isi hati.
Bukan apa yang ku tulis saat ini.
Lebih terlihat topeng kerisauan.
Mati, gundah gulana melanda perasaan yang kacau.
Ku robek dan ku bungkus dengan lembar kertas berikutnya.
Sehingga, tak Nampak sebuah tulisan.
Lebih nampak sebagai sebuah lembar kertas kumel.
Ku buang ketepian kali mati.
Dan ku tulis lagi lembar baru.
Lagi, tanpa menghiraukan lembar kusut lalu lapuk.
Bangkalan, 08 Nopember
2014
Berbuih Lalu Pergi
Matari kembali mengangkat bahu buih embun.
Semakin keatas, tinggi menuju cakrawala.
Kemudian buih mengendap lama.
Berarak, beriringan bersama semilir angin.
Kesana-kemari tanpa menghiraukan apapun.
Sekelip embun berkilau cembung dalam cermin.
Menimbulkan bias cahaya rona terang.
Gemuruh ombak Nampak di bawah.
Permukaan bumi yang saat ini kau pijak.
Buih-buih tertantang terbang.
Melayang semakin tinggi dan semakin kencang terhempas
pasang.
Di tiup lelap oleh angin malam.
Mengitari padang senja sore.
Melumat habis apa yang ada dihadapannya.
Terkulai lemah tak bernadi.
Berdesir keras di sanubari.
Memandang ketiadaan yang ia hadapi.
Bangkalan, 08 Nopember
2014
OUT OF PAPER
Hutan di Indonesia merupakan paru-paru dunia yang dapat menyerap karbon
dan menyediakan oksigen bagi kehidupan di muka bumi ini. Namun seiring
berjalannya waktu dan modernisasi, kerusakan hutan di Indonesia semakin
bertambah. Fungsi hutan sebagai penyimpan air tanah akan terganggu
akibat terjadinya perusakan hutan yang terus-menerus. Penebangan hutan
Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun menyebabkan
terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar- besaran. Menurut Badan
planologi Departemen Kehutanan pada 2003, di Indonesia, berdasarkan
hasil penafsiran citra landsat tahun 2000, terdapat 101,73 juta hektar
hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam
kawasan hutan.. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat
dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Laju kerusakan hutan
belum sebanding dengan laju pemulihannya.
Kerusakan hutan sekitar 0,7 juta hektar per tahun di Indonesia, sedangkan kemampuan pemulihan lahan yang telah rusak masih sekitar 0,5 juta hektar per tahun. Kerusakan tersebut mengurangi layanan hutan bagi kehidupan seperti menata siklus air, tempat beradanya keanekaragaman hayati, dan memitigasi perubahan iklim (Hatta, 2011). Industri kertas merupakan salah satu penyumbang besar konversi hutan di Indonesia. Indonesia kehilangan 1,1 juta hektar hutan setiap tahun, sebagian besar karena penebangan yang tidak lestari, meliputi konversi hutan dan pembalakan liar skala luas yang diperkirakan merugikan Indonesia sekitar AS$4 miliar setiap tahun (Yudhoyono, 2011).
Satu rim kertas setara dengan satu pohon berumur 5 tahun. Untuk setiap ton, pulp membutuhkan 4,6 meter kubik kayu, dan 1 ton pulp menghasilkan 1,2 ton kertas. 1 hektar hutan tanamanan industri (acacia) dapat menghasilkan kurang lebih 160 meter kubik kayu. Jika pertahun diproduksi 3 juta ton pulp, maka membutuhkan 86.250 hektar hutan. Daur ulang tumbuh acacia yang cukup lama, yakni 6 tahun, menyebabkan industri pulp membutuhkan lebih banyak hutan untuk beroperasi (Sudjarwadi dalam Habib, 2010). Total kapasitas produksi industri perkayuan di Indonesia setara dengan 68 juta m3 kayu bulat. Kapasitas tersebut 3 kali lipat lebih besar dibandingkan kemampuan hutan produksi Indonesia untuk menghasilkan kayu secara lestari (Departemen Kehutanan, 1997). Akibatnya, bahan baku industri kertas banyak berasal dari hutan alam, dan diperparah dengan tidak dilakukannya penanaman hutan kembali. Ini menunjukkan kertas erat kaitannya dengan hutan. Penggunaan 1 rim kertas telah mengorbankan dua meter persegi hutan alam. Saat ini hutan-hutan di Indonesia mengalami kerusakan yang cukup parah.
Jika dahulu Indonesia termasuk dalam 3 negara dengan hutan terluas di dunia, bahkan diyakini 84% daratan Indonesia adalah hutan, maka saat ini Indonesia telah menjadi negara dengan laju perusakan hutan yang cukup tinggi (WWF dalam Sari, 2011). Melihat kerusakan hutan yang terjadi akibat industri kertas, sangat penting untuk menerapkan bahan baku alternatif non-hutan pada industri kertas (pulp). Pulp diproduksi dari bahan baku yang mengandung selulosa. Baskoro (1986) mengatakan bahwa ampas tebu (bagase), limbah dari batang tebu setelah dilakukan pengempaan dan pemerasan, secara umum mempunyai sifat serat yang hampir sama dengan sifat serat kayu daun lebar. Berdasarkan pustaka (Paturau, 1982), komponen utama ampas tebu terdiri dari serat sekitar 43-52%, dan padatan terlarut 2-3%. Panjang serat 1,43 mm dan nisbah antara panjang serat dangan diameter 138,43 (Baskoro,1986). Oleh karena itu ampas tebu memenuhi syarat tersebut untuk menjadi alternatif sebagai bahan baku pembuatan pulp dan kertas (Kuo dan Lee, 2008).
Kerusakan hutan sekitar 0,7 juta hektar per tahun di Indonesia, sedangkan kemampuan pemulihan lahan yang telah rusak masih sekitar 0,5 juta hektar per tahun. Kerusakan tersebut mengurangi layanan hutan bagi kehidupan seperti menata siklus air, tempat beradanya keanekaragaman hayati, dan memitigasi perubahan iklim (Hatta, 2011). Industri kertas merupakan salah satu penyumbang besar konversi hutan di Indonesia. Indonesia kehilangan 1,1 juta hektar hutan setiap tahun, sebagian besar karena penebangan yang tidak lestari, meliputi konversi hutan dan pembalakan liar skala luas yang diperkirakan merugikan Indonesia sekitar AS$4 miliar setiap tahun (Yudhoyono, 2011).
Satu rim kertas setara dengan satu pohon berumur 5 tahun. Untuk setiap ton, pulp membutuhkan 4,6 meter kubik kayu, dan 1 ton pulp menghasilkan 1,2 ton kertas. 1 hektar hutan tanamanan industri (acacia) dapat menghasilkan kurang lebih 160 meter kubik kayu. Jika pertahun diproduksi 3 juta ton pulp, maka membutuhkan 86.250 hektar hutan. Daur ulang tumbuh acacia yang cukup lama, yakni 6 tahun, menyebabkan industri pulp membutuhkan lebih banyak hutan untuk beroperasi (Sudjarwadi dalam Habib, 2010). Total kapasitas produksi industri perkayuan di Indonesia setara dengan 68 juta m3 kayu bulat. Kapasitas tersebut 3 kali lipat lebih besar dibandingkan kemampuan hutan produksi Indonesia untuk menghasilkan kayu secara lestari (Departemen Kehutanan, 1997). Akibatnya, bahan baku industri kertas banyak berasal dari hutan alam, dan diperparah dengan tidak dilakukannya penanaman hutan kembali. Ini menunjukkan kertas erat kaitannya dengan hutan. Penggunaan 1 rim kertas telah mengorbankan dua meter persegi hutan alam. Saat ini hutan-hutan di Indonesia mengalami kerusakan yang cukup parah.
Jika dahulu Indonesia termasuk dalam 3 negara dengan hutan terluas di dunia, bahkan diyakini 84% daratan Indonesia adalah hutan, maka saat ini Indonesia telah menjadi negara dengan laju perusakan hutan yang cukup tinggi (WWF dalam Sari, 2011). Melihat kerusakan hutan yang terjadi akibat industri kertas, sangat penting untuk menerapkan bahan baku alternatif non-hutan pada industri kertas (pulp). Pulp diproduksi dari bahan baku yang mengandung selulosa. Baskoro (1986) mengatakan bahwa ampas tebu (bagase), limbah dari batang tebu setelah dilakukan pengempaan dan pemerasan, secara umum mempunyai sifat serat yang hampir sama dengan sifat serat kayu daun lebar. Berdasarkan pustaka (Paturau, 1982), komponen utama ampas tebu terdiri dari serat sekitar 43-52%, dan padatan terlarut 2-3%. Panjang serat 1,43 mm dan nisbah antara panjang serat dangan diameter 138,43 (Baskoro,1986). Oleh karena itu ampas tebu memenuhi syarat tersebut untuk menjadi alternatif sebagai bahan baku pembuatan pulp dan kertas (Kuo dan Lee, 2008).