HIPNOTIVI

(Kuasa Media dan Ketidak Berdayaan Publik)
Oleh: Hery Amariansyah
            Fakta di media massa hanyalah hasil rekonstruksi dan olahan para pekerja redaksi. Walaupun mereka telah bekerja dengan menerapkan teknik-teknik jurnalistik yang presisi, tetapi tetap saja kita tidak dapat mengatakan bahwa apa yang mereka tulis adalah fakta yang sebenarnya.”- Noam Chomsky.
            Media massa saat ini sudah menjadi acuan penting bagi publik dalam memperoleh ketepatan informasi dalam kehidupan sehari-hari. Seperti yang sudah kita ketahui bahwa media massa terdiri dari berbagai ragam jenisnya mulai dari media cetak, media online, media elektronik, media audio dan media audio visual. Sebagian besar masyarakat di Indonesia mengandalkan media massa sebagai sarana publik yang tepat untuk melengkapi informasi-informasi yang berhubungan dengan realitas kehidupan. Baik yang sedang berlangsung maupun yang akan berlangsung. Dengan artian bahwa, masyarakat Indonesia pada saat ini mengalami masa dimana perubahan sosial diberbagai bidang ekonomi, politik, hukum yang tentunya dipengaruhi oleh media dalam menanggapi sebuah realitas kehidupan yang sedang terjadi di masyarakat.
            Media massa yang saat ini menjadi pusat perhatian khalayak adalah media elektronik. Khususnya media penyiaran televisi. Sebuah media penyiaran televisi juga menggunakan medium frekuensi dalam menyampaikan siarannya. Frekuensi yang digunakan stasiun penyiaran televisi juga memiliki sistem pembagian frekusensi secara regional dalam memancarkan informasi kepada para khalayak media. Mulai dari tingkat regional Very High Frekuency (VHF) sampai nasional Ultra High Frekuency (UHF). Namun, seiring dengan perkembangan perindustrian penyiaran kebanyakan media penyiaran swasta maupun negeri sudah menggunakan frekuensi UHF dalam penyiarannya.
Dengan memanfaatkan sistem penyiaran yang menggunakan frekuensi bebas dan luas maka hal ini erat kaitannya dengan peran publik dalam pengawasan penggunaan frekuensi publik. Dengan cakupan yang luas, tentunya media penyiaran televisi bisa lebih leluasa dalam menyampaikan pesan siaran tanpa terbatas jarak dan waktu. Namun, bukan berarti media se-enaknya sendiri dalam proses penyiaran. Setiap saat media hadir dengan berbagai macam tayangan yang memuat konten-konten media berupa pesan audio visual. Konten yang biasa dianggap media memiliki kekuatan tersendiri dalam menyampaikan pesan. Menurut media mainstream tayangan dengan rating tinggi adalah konten yang dibutuhkan oleh publik. Sedangkan dalam realitasnya medialah yang sudah memilihkan konten untuk sebuah tayangan televise yang disajikan kepada publik.
            Masyarakat terkadang dibuat bingung dengan realitas yang sedang terjadi. Bukan karena realitas tersebut tidak bisa dipercaya. Tetapi, lebih kepada masyarakat itu sendiri yang sedang mengalami kebingungan dalam mengkonsumsi informasi dari berbagai media sebagai realitas. Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan publik dengan realitas yang disajikan oleh media. Dengan kata lain, media saat ini pun saling bersaing untuk mendapatkan kepercayaan publik demi kelangsungan hidup media tersebut. Tanpa adanya publik, maka media akan mengalami krisis untuk menyampaikan suatu informasi. Dalam hal ini media pun akhirnya menciptakan banyak inovasi-inovasi baru dalam menyajikan suatu informasi. Supaya tidak ditinggalkan oleh khalayak media yang setiap hari semakin dinamis dalam menanggapi perubahan sosial.
Sebagaimana diutarakan Giddens (1991:89), dalam era postmodern di mana bentuk-bentuk produksi informasi berperan dominan di dalamnya, apa yang terjadi kemudian justru “kebingungan informasi” yang melanda masyarakat. Dalam era ini, Giddens menekankan bertubi-tubinya informasi menyerang masyarakat, sebagai misal kerap kita temui antara satu stasiun televisi, radio atau media cetak dengan lainnya memiliki konstruksi dan pemaknaan yang berbeda-beda atas suatu peristiwa atau permasalahan yang sama.
Apabila hal tersebut berlangsung secara terus-menerus, maka tak menutup kemungkinan ketidakpercayaan publik akan media sebagaimana analisis Jean Baudrillad pada masyarakat Amerika Serikat turut melanda tanah air, terlebih dengan ditempatkannya Indonesia sebagai negara “euphoria demokrasi” saat ini.
Media memiliki kemampuan lebih dalam menyajikan informasi sebagai realitas yang dipercaya oleh publik. Media pun memiliki latar belakang dalam menyampaikan informasi kepada khalayak. Jika dipertanyakan sekilas mengenai apa yang melatar belakangi media untuk menyampaikan suatu informasi? Tentu saja, media juga memiliki kepentingan dalam mengembangkan potensinya dalam bermedia. Dalam bermedia masyarakat dianggap sebagai komponen yang harus dan wajib untuk mendapatkan informasi dari berbagai media yang memuat berbagai informasi. Masyarakat menjadi komponen yang penting sebagai konsumen informasi yang disiarkan oleh media. Tanpa adanya khalayak, media mustahil hidup. Dengan demikian, terkadang media juga memiliki banyak unsur perbedaan yang melatarbelakangi dalam hal menyampaikan informasi.
Hiper realitas merupakan istilah yang dicetuskan Baudrillard (1983) terkait kajiannya mengenai berbagai muatan yang terdapat dalam media massa. Secara ringkas dan sederhana, hiper realitas dapat diartikan sebagai perihal yang “melampaui kenyataan”. Muatan hiper realitas umumnya terdapat dalam iklan-iklan produk komersial, sebagai misal salah satu produk parfum yang dapat membuat para pria diikuti oleh wanita seisi kota, minuman bersoda yang dapat membuat terbang atau permen yang dapat membuat seseorang beku. 
            Dalam ranah sosiologi politik, kajian mengenai hiper realitas menemui relevansinya dalam iklan-iklan politik di berbagai stasiun televisi menjelang pemilu. Melalui hal tersebut, kita kerap melihat bagaimana seorang tokoh dicitrakan mampu mengatasi segala macam persoalan bangsa “dari Sabang sampai Merauke”, ditambah dengan senyum “bungah” para petani, nelayan, buruh dan para guru yang seolah merupakan pertanda atau simbol bahwa hanya sosok tokoh tersebutlah yang mampu mensejahterakan mereka.
Patut disayangkan memang jika kita menilik beberapa hasil survey yang menyatakan bahwa berbagai bentuk iklan politik dalam media televisi merupakan sarana kampanye paling efektif pada masyarakat(@wearesosialsg:2014).
Kiranya, hal tersebut dapat menjadi salah satu indikator masih mudahnya masyarakat Indonesia “dibohongi”.
Hal-hal demikianlah yang dimaksudkan dengan ketidak berdayaan publik terhadap informasi yang disajikan media. Dimana media menguasai frekuensi publik dan mengesampingkan kepentingan publik. Media pun tak bisa lepas dari berbagai kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemilik modal dalam membangun media itu sendiri. Untuk menciptakan media yang benar-benar independen dalam menyiarkan pesan yang memang dibutuhkan oleh publik. Media pun perlu meminta persetujuan dari para pemilik modal atau kelembagaan dalam mengatur hak  untuk menggunakan frekuensi publik.
Dengan demikian banyak hal yang mungkin terjadi dalam realitas sosial yang diselewengkan. Dan lagi-lagi publik menjadi korban dari media yang menguasai informasi. Pengalihan realitas sosial ini biasa disebut juga sebagai bentuk rekayasa Sosial. Dengan berbagai keunggulan media, salah satunya sebagai pembentuk opini publik, media mampu meciptakan realitas yang keluar dari nilai esensi awal sebuah informasi. Sehingga publik akan mempercayai realitas yang disiarkan oleh media. Media pun memiliki alasan yang kadang menjadi pertimbangan dalam teguran-teguran yang telah dilayangkan oleh KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) dengan mengatasnamakan kepentingan media untuk berbagi informasi dibandingkan dengan kepentingan publik dalam mengkonsumsi wacana.
Tak berlebihan kiranya diktum Foucault (1972:87) yang mengatakan, “Knowledge is power” Pengetahuan adalah kekuasaan. Pernyataan tersebut menyiratkan bahwa dalam setiap informasi yang menyerua ke permukaan tak lepas dari relasi kuasa. Berbagai ungkapan seperti, sejarah dibuat oleh pemenang “the winner takes all” atau “penguasa bebas merubah sejarah berikut memutarbalikkan fakta” merupakan realitas keseharian yang kerap kali luput dari kesadaran kita.
Mari kita kembali mengingat sejarah mengenai masa Orba; Di era kekuasaan Orde Baru, Soeharto memojokkan Soekarno sebagai pengkhianat bangsa dengan menuduh keterlibatannya dalam G30S-PKI, namun setelah Orde Reformasi bergulir, nama Soekarno kembali “bersih” dan giliran Soeharto yang dipojokkan. Dan ada lagi mengenai Propaganda Soeharto akan keberhasilan repelita yang faktual sekedar isapan jempol belaka (John Perkins, The Confenssion of Economic Hitman).
Pada masa setelah Orba kebijakan politik media kembali menjunjung tinggi media sebagai pilar demokrasi. Namun, ternyata hal tersebut tidak berlangsung lama. Seiring dengan berbagai tuntutan dalam kestabilan dunia perpolitikan di Indonesia. Media pun kembali hadir dengan wacana-wacana yang menyuguhkan tentang berbagai permasalahan yang menyangkut tokoh-tokoh partai politik. Tentunya, dengan kesimpang siuran informasi dikarenakan kepentingan media dalam menyiarkan informasi berbeda-beda.  Sebagai contoh pada pemberitaan stasiun televisi ANTV yang sebagian besar sahamnya dimiliki Abu Rizal Bakrie selalu menggunakan istilah “bencana alam lumpur Sidoarjo”, sedang stasiun televisi lain “tragedi lumpur Lapindo”.
Ini adalah hal yang cukup pelik jika dijabarkan dengan luas lagi. Banyak media mengagung-agungkan independensi, namun dalam realitasnya media hanya menunjukkan realitas nyata bagi kalangan-kalangan tertentu dan dengan tujuan tertentu pula. Dengan demikian, publik akan kembali mempertanyakan mengenai apa yang sebenarnya media inginkan dalam menyelenggarakan suatu tayangan penyiaran. Bukankah media harus pro dengan kepentingan publik, bukankah media harus mengutamakan kebutuhan publik dalam hal mencukupi informasi tentang realitas yang sedang terjadi. Kenapa media hanya mengabarkan hal yang bersifat opportunis bagi sebagian kalangan. Jika, terjadi hal demikian berlarut-larut bisa diprediksikan public akan perlahan mencari alternatif baru dalam mencari informasi dan mulai meninggalkan media.
Tanpa adanya keterkaitan politik yang dimiliki oleh media itu sendiri dengan politik pemerintah, birokrasi, dan kepentingan partai politik apakah media masih mampu mengatasi krisis kepercayaan dan mempertahankan kejayaan media dalam menyebar luaskan informasi.
Ini adalah langkah selanjutnya dalam mencari solusi yang sedang dihadapi oleh media. Modal yang besar untuk menyelenggarakan media penyiaran publik adalah salah satu alasan media pada saat ini untuk membenarkan kebijakan media dalam mencari rating untuk menarik para partisipan atau sponsorship dengan mengatasnamakan kepentingan publik.
Dengan melihat program acara televisi yang memiliki rating banyak. Maka dapat disimpulkan bahwa acara tersebutlah yang diminati oleh publik  dan layak untuk dijadikan lahan sponsorship. Yang sangat disayangkan ketika media sudah dibutakan dengan iming-iming kebanjiran order iklan. Sehingga media pun secara langsung mendeklarasikan diri menuju perataan konglomerasi media dengan berlandaskan rating.
Atas fenomena-fenomena yang ada, baik itu di ranah demokrasi maupun media. Kita harus menyadari bahwa media massa tidak bebas nilai. Artinya masyarakat dalam memandang media harus menggunakan cara berpikir yang berlawanan dengan cara berpikir media itu sendiri, yaitu tidak memandang media sebagai satu-satunya sumber informasi yang mutlak. Sebagaimana media menginginkan masyarakat memandang media sebagai satu-satunya sumber informasi. Dengan begitu, masyarakat tetap menempatkan media sebagai pengawal masyarakat bukan sesuatu yang harus dikawal. Maksudnya dengan media menjadi pengawal, media ditempatkan sebagai indikator yang dapat digunakan masyarakat dalam mengidentifikasi berbagai gejala baik dan buruk dalam masyarakat. Sehingga masyarakat menjadi mengerti dan dapat mengambil sikap yang tepat terhadap permasalahan yang sedang dihadapi. Tanpa harus menjadi bingung akibat dari perbedaan berbagai opini yang muncul. Tentunya ini akan terjadi bila media massa sudah kembali kepada fungsinya sebagai pilar ke 4 dari demokrasi yang menempatkan masyarakat sebagai sudut pandang utama, bukan kepentingan media atau kepentingan lain yang bermain di belakangnya.
Dari pembahasan di atas juga kita dapat melihat bagaimana kekuatan yang dimiliki oleh media massa mempengaruhi masyarakat. Kekuatan media yang dimaksud adalah kemampuan yang dilatarbelakangi oleh kepentingan politik, ekonomi dan kekuasaan untuk mempengaruhi serta menghegemoni khalayak. Mengutip perkataan Tifatul Sembiring sebagai Menteri Depkominfo dalam pidato peresmian TV Digital di Bandung 29 Januari 2010 kurang lebih mengatakan, “Dahulu untuk menguasai negara, orang harus menguasai sumberdaya alamnya terlebih dahulu, kemudian berubah menguasai ekonominya lebih terdahulu, sekarang menguasai informasi dan medianya terlebih dahulu.” Posisi media dalam masyarakat juga sebenarnya sudah mempunyai tempat dan porsinya sendiri, yaitu sebagai pilar keempat dalam demokrasi yang berfungsi menjaga dan mengawal jalannya demokrasi. Hanya saja dalam perjalanannya masih banyak yang harus dibenahi, baik pembenahan ke dalam seperti melaksanakan hal-hal yang tercantum dalam ratifikasi Standar Kompetensi Wartawan Indonesia. Sedangkan keluar adalah berusaha menyajikan pemberitaan yang berimbang dan netral. Walaupun keberpihakkan itu sendiri terkadang memang diperlukan dalam hal-hal tertentu, seperti membangkitkan jiwa nasionalisme masyarakat dan sebagai ciri dari sebuah media.
Tulisan ini hanya sebatas wacana yang belum memberikan solusi terbaik untuk menghadapi kuasa media. Tetapi setidaknya wacana ini bisa berkembang ke arah yang lebih baik dan menghasilkan solusi terbaik bagi media maupun publik. Sehingga tidak ada yang merasa dirugikan di antara kedua belahpihak.



Daftar Pustaka
Fillingham, Lydia Alix. Foucault Untuk Pemula. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Giddens, Anthony. Konsekuensi-konsekuensi Modernitas.Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005.
Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta: Granit, 2004.
Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: LKiS, 2005.

Friday, 19 December 2014
Posted by Hery Amariansyah

Resensi Buku: Jejak Darah.

Chris X : Jejak Darah

“Ketika mereka sudah diberi nyawa oleh yang Maha kuasa, tapi tidak terlahirkan karena perbuatan manusia. Maka, mereka akan tetap hidup” – hal. 132
Saat ini manusia dihadapkan dengan berbagai pilihan dalam memperbaiki segala sesuatu yang dianggap perlu disempurnakan dalam kehidupannya. Dengan berbagai macam pilihan dalam bentuk barang atau jasa, manusia hanya perlu memilih mana yang baik untuk melengkapi kebutuhannya dan menghindari yang buruk untuk terhindar dari resiko kerugian. Dengan hal seperti itu banyak perusahaan yang bergerak di bidang produksi barang atau jasa mulai melirik apa pun yang bisa menjadi aspek kebutuhan hidup masyarakat sebagai keberlangsungan komoditas pasar, guna melengkapi kebutuhan konsumen. Dalam buku ini dengan gamblang dijelaskan bahwa budaya konsumerisme telah membutakan mata para produsen dan para konsumen itu sendiri yang sudah terlanjur kecanduan dengan pelayanan, manfaat dan kegunaan suatu produk barang atau jasa. Dalam hal ini, betapa berbahayanya jika budaya konsumerisme itu sudah merasuk kepada pola pemikiran kita.
Dalam buku karangan crist x ini banyak membahas mengenai cara bagaimana sebuah produksi produk kecantikan, untuk memperoleh sebanyak mungkin keuntungan dalam memproduksi suatu produk kecantikan ini. Dengan bahan baku produksi yang sukar di dapat dan sangat langka maka akal-akalan dalam mencari bahan baku sebuah produk kecantikan pun di berlakukan. Dengan menggunakan placenta[1] janin,untuk memberikan manfaat yang lebih terhadap penggunaan kosmetik ini. Maka, dengan sengaja hal tersebut dilakukan demi meraup keuntungan yang besar. karena dalam sebuah penelitian yang berawal dari mitos penggunaan placenta manusia dapat lebih baik dalam menjaga kondisi tampilan wajah untuk tetap awet muda maka penggunaan placenta bayi manusia mulai digunakan secara sembunyi-sembunyi. Demi meraup sebuah keuntungan yang besar. Produksi kosmetik yang berbahan dari plasenta bayi manusia ini menjadi sangat digandrungi.  Meskipun, untuk saat ini di berbagai belahan dunia sudah menyatakan tidak meberi izin penggunaan plasenta bayi dalam pembuatan kosmetik. Namun, hal itu tetap saja dilakukan oleh beberapa perusahaan yang tetap nakal menggunakan plasenta manusia dalam pembuatannya.
Salah satu dampak dari hal tersebut adalah banyaknya praktek aborsi yang dilakukan untuk mendapatkan plasenta-plasenta manusia yang masih segar. Hal ini lah yang akan digambarkan dalam novel karya Crist X  ini. Novel yang menggambarkan alur cerita begitu jelas dan penokohan yang pas. Sehingga mampu membawa pembaca untuk terlibat dalam ketegangan yang beruntun dari lembar perlembar halaman dan mendapatkan sensasi yang tidak biasa. Dengan alur cerita romantis dan dibalut dengan nuansa horor, buku ini menjadi buku yang lumayan membuat sebuah liku di berbagai permasalahan dan penyelesaiannya yang berbeda.
Berawal dari kisah percintaan antara Reno dengan Mischa yang sedang mengalami dilema. Hal itu dikarenakan sebuah hubungan percintaan remaja yang awalnya berlangsung baik-baik saja. Namun, setelah banyak mengalami masa coba-coba dalam sebuah hubungan pacaran yang lebih dari hubungan berpacaran. Akhirnya Mischa pun mengalami masa-masa depresi, masa ini tiba saat Mischa memiliki janin dari hasil hubungan yang belum semestinya dilakukan oleh pasangan yang masih belum menikah. Saat Mischa mengalami masa depresi dan kebingungan atas pilihan untuk membuat suatu keputusan yang bertolak belakang dengan batinnya, mischa hanya mampu memendam sebuah cerita ini dari siapapun termasuk Jessy. Di lain sisi, Jessy sebagai adik Mischa mulai curiga melihat gerak-gerik Mischa yang mulai aneh belakangan ini. Dengan kecurigaan yang tidak tertahan. Akhirnya Jessy bertanya kepada mischa apakah dia sedang sakit atau sedang memiliki masalah dengan Reno.
Kecurigaan Jessy semakin menggebu dengan tampang Mischa yang makin hari makin pucat. Apakah ada hubungannya dengan Reno, karena biasanya Mischa menjadi seorang pendiam saat punya masalah dengan Reno. Dengan perlahan Jessy menanyakan lagi tentang masalah apa yang saat ini Mischa alami sehingga bisa membuat Mischa lebih banyak merenung dibandingkan dengan hari-hari biasanya.
Bukannya bercerita, malahan Mischa mengajak Jessy ke suatu klinik pengobatan khusus kandungan, dengan alasan Mischa sedang mendapatkan siklus menstruasi yang kurang normal. Sesampainya di klinik Mischa dianjurkan untuk segera menghubungi dokter yang menjadi pemilik dari klinik tersebut. Dengan bermodalkan alamat, Mischa kembali mengajak Jessy untuk kembali ke rumah. Sesampainya di rumah Mischa mengatakan kepada Jessy bahwa dia baik-baik saja dan hanya butuh sedikit waktu untuk istirahat.
Jessy hanya bisa bersyukur karena Mischa hanya membutuhkan waktu untuk istirahat. Namun, hal itu berbanding terbalik kepada kenyataan yang diterima oleh Mischa karena setelah dari klinik kandungan tersebut. Mischa mendapatkan informasi untuk segera menemui dokter yang memiliki klinik tersebut yang beralamatkan di tempat yang berbeda dari klinik tersebut. Hal ini menjadi semakin runyam karena Mischa mendapatkan sebuah kenyataan dari pembicaraan dengan suster yang ada di klinik , untuk segera menggugurkan bayinya karena janin yang ada di dalam kandungannya tidak bergerak. Namun, suster berkata dengan cukup baik untuk meyakinkan Mischa supaya di cek dulu kepada dokter yang biasa menangani kasus seperti ini yaitu dokter yang memiliki klinik tersebut.
Dengan hati bimbang Mischa kembali keluar rumah untuk menemui dokter tersebut. Berbekal nekat dan hati yang kalut Mischa menemui dokter tersebut di daerah yang lumayan sepi dan jarang ada rumah di sekitarnya. Mischa akhirnya bertemu dengan dokter tersebut dan berbagai pernyataan dari dokter membuat Mischa memutuskan untuk menggugurkan kandungannya. Dengan peralatan seadanya, dokter mulai melihat bagaimana kondisi dari kandungan Mischa yang sudah telat beberapa bulan ini. Proses pengguguran janin pun selesai, ternyata Misha mengalami pendarahan yang cukup hebat. Dengan segera dokter mengemas janin kedalam kotak yang sudah disediakan dari tadi semacam kotak untuk pendingin organ tubuh.
Pendarahan yang dialami oleh Mischa sangat parah hingga dia sempat mengalami pingsan. Hingga dia bangun dari pingsannya dan mencoba untuk melarikan diri. Dengan tenaga yang tersisa Mischa menelusuri jalan hingga sesampainya di penghujung usaha, Mischa sudah tidak kuat menahan kesakitan yang di derita dan dia menghembuskan nafas terakhirnya. Jessy berfirasat jika Mischa sedang mengalami kesulitan. Saat mencoba menghubungi Mischa, dia panik. Saking paniknya sampai Reno menjadi sasaran utama dalam mencari kepastian dimana Mischa berada pada saat ini.
Hingga di akhir cerita Jessy dengan Reno pun menemukan bukti-bukti untuk mengungkap bisnis ilegal yang telah memakan banyak korban termasuk Mischa. Dengan melalui berbagai perantara termasuk bantuan dari hal gaib sampai dengan realitas yang ada di sekelilingnya.
Dengan cerita yang sangat dramatis, novel ini bisa menggambarkan bagaimana dampak dari komersialisme industri yang kejam. Sampai janin dan orok pun di perjual belikan dengan sembunyi-sembunyi. Hingga saat ini kejadian yang serupa dengan cerita yang di susun rapi dalam sebuah novel ini menjadi sebuah misteri. Akankah ada manusia yang tak kenal dengan bapaknya saat dilahirkan ke dunia, ataukah manusia-manusia yang tak berdosa melihat iba kepada ibunda dan ayahandanya yang termanggu menatap masa depannya sendiri-sendiri? Hanya bisa berbagi mengenai realitas yang ada. Jadi, sebagai manusia yang diberi akal dan cara untuk berfikir, setidaknya manusia lebih baik berfikir dulu sebelum melakukan sesuatu yang bakal merugikan bagi dirinya sendiri juga orang lain.


[1] Selaput janin (Manusia atau hewan)
Wednesday, 17 December 2014
Posted by Hery Amariansyah

Kumpulan status FB Eran Wijarnate



Hery Amariansyah
1 Desember pukul 22:13 ·
Air kedamaian akan membasuh dirimu. Malam ini.
Ayo kawan merapat, peluk api yang sedang membara.
Teriakan sajak-sajak penuh dosa.
Berdoa untuk sebuah pengampunan.
‪#‎winarte
Hery Amariansyah
1 Desember pukul 22:16 ·
Dona dona dona dona.
Dona dona do dona do.
Do nado dona dona do.
Dona dona dona do dona do.
Dona do nado nado dona.
‪#‎solasi
Hery Amariansyah
1 Desember pukul 22:30 ·
Dibanggakan, dipahami, dimengerti, disanjung, disayangi, diharapkan, dihargai dan apalagi?
Toh hanya itu yang kembali.
Toh hanya itu yang diberi.
Toh hanya itu yang didapat.
Toh hanya itu.
Toh hanya itu.
Tidak lebih, tidak kurang.
Apalagi bertambah?
Ah, itu hanya perasaanmu saja om.
#
Hery Amariansyah
1 Desember pukul 22:37 ·
Kau takut? Karena kau sedang melakukannya.
Kau berani? Karena belum tentu kau memikirkannya.
Hah, memang ada waktu untuk melakukan dan memikirkannya?
Butuh rasa takut dan berani untuk hal sepele semacam itu.
Kau tau ini bukan lagi masalah takut atau berani. Aku sudah melakukannya dan apa, apa yang di rasa?
Tetap!
‪#‎wijarnate
Monday, 15 December 2014
Posted by Hery Amariansyah

Berlangganan Sinyal FX?

JustForex

Followers

Popular Post

- Copyright &SHIE; artorlife -Diberdayakan- Powered by Blogger - Designed by SHIE -