Sunday, 27 July 2014
Posted by Hery Amariansyah
Masihkah
Sesuatu itu sudah
terlupakan begitu lama.
Hingga saat ini sudah
kusam terlapisi diorama.
Mungkin, hanya akan
tersadarkan dengan sendirinya.
Melamun di saat semua
tergoyah menganut mata arah.
Diselingi dengan
denyutan arus aliran nadi.
Memalingkan hati nurani
demi kemaslakhatan bersama.
Mengarahkan kiblatnya
sesuai dengan perintah majikannya.
Terasa megah, semua
terlena karena terlalu sering di cambuk dengan doa.
Harapan-harapan yang
telah lalu, berlalu begitu saja.
Tanpa ada cermin tanpa
ada pantulan cahaya di belakangnya.
Mustahil, jika kau tak
menganut.
Jika menurutmu semua
sudah patut.
Masihkah ada secerca
harapanmu kemarin hari.
Hingga kau lupa sendiri
akan semua nostalgi doa-doa.
Di malam yang panjang
kau menangis.
Mengharap sesuatu itu
menjadi suatu kenyataan.
Tapi, mengapa kau
relakan semua doamu.
Di beli dengan harga
diri sosok pemalsu doa-doa.
Pemalsu semua angan,
tak akan mengiba kepadamu.
Jika memang benar,
semua hanya benar menurut pemalsu doa.
Bukankah kau sudah
menukarnya dengan kepercayaanmu.
Semua sungguh hina,
hingga dusta pemalsu doa tak kentara di mata.
Ku pastikan semua akan
terbangun.
Tersadar di saat doa
takkan lagi didendangkan untuk pemberontakan.
Kau akan berontak
karena kau tak memiliki doamu sendiri.
Kau akan berontak
karena doamu sudah terwakili.
Terwakili dengan
kehinaan sebuah doa pemalsu harapan.
Doanya semu, doanya tak
nyata, doa hanya untuk memenggal jiwa dan raga.
Sampai pada saatnya
jual-beli doa akan berlanjut.
Di akhir masa masih
berlaku dan kau sudah mengamini untuk menghambakan doa.
Doa, masih berdoa,
bibir pun bukan milikmu lagi.
Doa, masih berdoa, mau
kah kau sekedar menjual doa.
Doa, masihkah kau akan
mau untuk terus berdoa.
Sampai berhujung pada
padang arafah.
Jombang,
06 Juli 2014
Partisi Pikiran
Kadang terasa canggung untuk berucap.
Sampai kau pun merasakan hal yang sama.
Tersendat, melantunkan sebuah lagat.
Ku beranikan untuk menggugat.
Dalam sebuah kenyataan masih saja tersendat.
Banyak rasa, upaya, daya, suasana.
Kau terlibat dalam fase diam sesaat.
Aku tak sanggup, saat kau tak berucap.
Aku hanya diam tertambat.
Sudah tak akan bisa lagi hujat-menghujat.
Karena semua sudah terpatri, begitu kau dapat.
Megertilah sebuah makna dari pikiran.
Semua bisa kau bagi sesuai porsi kebutuhan.
Perasaan, kecaman, hujatan, gurauan, hingga luka
terbersit dalam.
Tapi, masihkah kau usahakan untuk menjaganya.
Utuh hingga kau perjuangkan sampai di ujung.
Kita akan terbelah dan kembali disatukan.
Dengan keadaan sebagai sesuatu yang baru.
Tak melupakan arti dari keadilan sebuah bagian.
Dari itu lah kita akan tersenyum satu tujuan.
Jombang,
03 Juli 2014
Haruskah Atau Seharusnya
Aku mulai pening, memikirkan apa
hal yang saat ini sedang ia kerjakan. Berawal dari aktifitas menuju pemilu 2014
ini sampai awal bulan ramadhan. Seandainya semua kesalahan ini tidak berulang
mungkin sudah kelar masalah dan keluar sebagai solusi nyata. Mengeluarkan solusi
saja susah apalagi mencari masalah untuk membuat sebuah solusi yang benar-benar
berbeda. Apa semua sudah dilupakan sehingga tak pernah tampak proses seleksi
diri untuk menemukan sebuah solusi. Yang banyak terjadi hanya praktik-praktik
kolusi yang semakin hari semakin tampak dipermukaan. Sudah terlalu lelah. Tapi,
masih saja ngotot untuk tetap bercengkrama. Sampai-sampai rambut digelar di
atas bantal kumel kesukaannya. Tertidur lelap
merupakan kebiasaan barunya saat ini. Mungkin, dia hanya bosan dengan apa yang
ia kerjakan saat ini. Atau sekedar lupa akan profesinya saat ini.
Ah, itu hanya alibi atau memang
landasan dari segala upaya untuk menutupi kesalahan dan masalah yang diperbuatnya
saat ini. Cenderung menangkis semua pertanyaan yang ku buat. Memang suatu pertanyaan
tak lebih berbobot dibandingkan dengan mengangkat sebuah troli besi yang masih
di tanam dalam-dalam pada tiang pancung. Kotoran ini menjadi semakin runyam dan
semakin kusam tidak terarah. Tapi, masih nampak rapi pada tampilan luarnya. Kulit
yang di baluri dengan serpihan janji-janji. Daging yang mengitari tulang yang
sudah tertata rapi. Seolah semua terbungkus di dalam suatu selubung semu
kenyataan yang telah di manipulasi.
Hai Ibu Peri
Menatap bulan di malam,
taburi dengan serbuk ibu peri.
Ini untuk melayang,
melambung jauh hingga ke seberang.
Bergidik di atas
awang-awang, merasa takut dengan ketinggian.
Tapi, tak lagi setegang
saat masih di bawah awan.
Ini sudah sangat
tinggi, hingga pelupuk mata tak tertembus melihat dasar bumi.
Hasrat sudah terlalu
tinggi, ingini adanya awan di atas awang.
Kudapati lembut
meranggas tangkai jemari.
Bulan tersenyum masih
mengitari matari.
Matari pun tetap
sunggingkan wajah anarki.
Segera cepat dekap erat.
Jangan kau terbitkan
siang.
Aku masih ingin malam
enggan berganti.
Hingga ku lelap, ibu
peri masih sibuk menebar serbuk sembari menari-nari.
Jombang, 02 Juli
2014
Bunga Merahku
Teruntuk
bunga merah, senyummu benar-benar pesona.
Pertanda
apa di malamku ini kau tampak sungguh indah.
Bukan
datang memberi pesona.
Dia
datang layaknya terik matari di pagi hari.
Walau
terang, cahayanya begitu teduh.
Hanya
hati yang bisa menangkap semua ini.
Bukan
bias dari sebuah arti.
Dia
bunga yang kunanti.
Ku
ingin esok dia tersenyum, lagi, lagi dan lagi.
Jombang, 02 Juli 2014