Posted by : Hery Amariansyah Wednesday 2 July 2014




            “Haha, laucu e ndasmu anyar!” Kata itu sedikit terbersit di dalam benakku. Sebelum aku memiliki rencana untuk memotong rambut yang mulai memanjang sampai hampir menutupi punggungku. Sudah 10 bulanan lebih aku memanjangkan rambut. Ya selama itu pun aku memiliki misi. Bukan misi untuk memperbaiki penampilan melainkan misi memperburuk penampilan. Saat dunia melambai-lambai memberikan sejuta tawaran untuk segera berbenah diri dalam hal penampilan. Malahan aku sudah bosan dengan namanya berbenah, apalagi berbenah diri dalam hal penampilan.
            Dari SD sampai kuliah semester 2 penampilan masih saja begitu-begitu saja. Rapi dan cenderung kantoran. Apa lagi kalo di tambah jas hitam lengkap dengan dasi kupu-kupu. Pastilah eksekutif muda (eksmud) banget. Sejak kecil sudah dilatih bahwa ini adalah penampilan yang benar. Dari jaman aku masih bau kencur sampai aku bau amis. Semua memiliki masa yang sudah berbeda.
Kini semenjak aku jadi mendadak gondrong, hal-hal yang belum pernah aku rasakan sebelumnya mulai menyeruak hadir. Dari mulai sindiran orang tua, tetangga, teman, sampai pacar :v. Terus kalo aku gondrong masalah buat sampean! Kalo keluarga sih gak masalah. Sudah aku jelaskan mengenai kegondronganku ini.

            Aku memiliki alasan untuk memilih gondrong. Berawal dari pandangan masyarakat luas mengenai orang yang memiliki rambut gondrong yang selalu berfikiran negatif mengenai hal itu. Tapi, kalau wanita gondrong kok tidak masalah ya? Mendadak hal itu pun menjadi alasan berkelanjutan untuk menata diri. Mempersiapkan diri untuk gondrong, gimbal, dan kumel. Asalkan nggak bau aja. Kalo mah bau kan nggak nyaman sendiri nantinya. Semenjak rambutku beranjak gondrong, aku merasakan hal yang membuatku semakin bersemangat menggondrongkan rambutku.
Hal yang aku rasakan pertama kali adalah banyak teman yang menjauh khususnya teman cewek. Sepertinya mereka mulai takut. Kuberikan sikap positif terhadap respon teman-teman yang mulai meninggalkan perlahan. Ku tunjukkan dengan semangat belajar lebih tanpa gangguan teman. Toh, aku juga nggak mau semangat belajarku ini berkurang hanya gara-gara teman. Lebih memiliki sikap mandiri itu menjadi nilai plus dari kegondronganku saat ini.
            Jika sebelum gondrong aku memiliki banyak teman dan suka bermalas-malasan Kalau mau belajar. Kini, aku sudah mulai mandiri dan belajar dengan giat mengisi kesendirian yang semakin mengancam. Ada hal lucu lagi. Aku yang mulai gondrong pun dihindari oleh para tetangga. Saat aku pulang kampung dari pulau garam, cuek aja sih sama mereka. Aku pun gak begitu peduli. Saat aku berinteraksi dengan mereka aku pun merasakan banyak hal yang mengintimidasi. Tapi, di anggap positif aja lah.
Semua memiliki tingkat kesadaran mengenai panjang ukuran rambut dari seorang anak laki-laki yang cukup matang untuk nikah. Hah, aku saja tak memiliki kesadaran mengenai kapan aku menikah. Yang lebih membuat segalanya berbanding terbalik adalah saat dilanda kebosanan. Ketika tidak ada yang sungguh-sungguh mendengarkan curhatan si gondrong pada saat itu.
            Semua ku lepaskan kedalam aliran pemikiran yang menurutku masih benar. Aku berfikir jika aku tetap gondrong seperti ini apa efeknya bagi masyarakat luas. Toh, aku ndak pernah menggangu mereka dalam hal yang negatif. Kecuali, aku mengganggu pemandangan mereka itu baru aku memaklumi. Karena tidak biasa, sebagai sosok manusia yang terlahir dari keluarga yang baik-baik tapi kok gondrong. Emang situ punya anak gak gondrong (cewek).
Aku masih belum bisa menerima semisal cewek yang memiliki rambut panjang tidak disebut gondrong padahal kita hidup selaras dan memiliki hak yang sama dalam hal mengatur diri. Bukannya niat untuk menyalahi norma. Tetapi inilah bentuk pelanggaran yang berat mengenai pembatasan HAM (prabo**). “Nyantol-nyantol ning awang” yang artinya nyangkut-nyangkut dilangit. Bukan masalah benar atau salah. Atau, memang kebetulan. Ini semua sudah di rancang sedemikian rupa. Semisal dari awal masyarakat Indonesia memiliki prajurit-prajurit yang gondrong. Apakah gondrong masih disebut bajingan?
            Pola pikir masyarakat yang mengartikan hal tersebut. Karena preman-preman di pasarlah yang menyalahgunakan kegondrongannya. Atau filem-filem di media yang mempertontonkan hal yang gondrong identik dengan kepremanan atau wujud dari kegarangan laki-laki yang sekedar menjadi dukun. Seberapa pantaskah masyarakat luas menganggap penampilan luar bisa menyimpulkan kepribadian seseorang.
Banyak hal yang bisa disebutkan dalam kategori gondrong yang baik dan benar. Salah satunya adalah pak kyai. Mereka juga gondrong tapi dibalik kegondrongannya memiliki ilmu yang lebih dalam hal agama. Mereka pun bersikap layaknya manusia pada umumnya. Dan mereka pun menjadi acuan normatif dalam hal agama. Apalagi bicara masalah bersikap yang tentunya memiliki sikap sangat baik di mata masyarakat.
            Namun, setelah sekian lama memiliki rambut gondrong (padahal baru 10 bulanan). Aku sudah mau mengakhiri kegondronganku. Dikarenakan sudah cukuplah kurasa dalam hal bergondrongria. Sudah banyak kurasakan suka dan duka dalam menggondrongkan diri. Setelah puas dengan yang ku alami, saat mulai gondrong hingga aku memutuskan untuk memotong rambut di semester 5 ini.
Alhamdulillah dan bersyukur dengan apa yang dimiliki saat ini sudah lebih dari cukup. Maka, aku memiliki pesan bagi yang ingin gondrong. Janganlah kau gondrong tanpa memiliki alasan yang jelas dan positif. Karena di balik kegondronganmu akan menyebabkan kau menjadi sesuatu hal yang beda dari yang lain. Siap atau tidak siap gondrong akan selalu ada di dalam jati dirimu. Gondronglah dengan baik dan benar kalau bisa sampai betul.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Berlangganan Sinyal FX?

JustForex

Followers

Popular Post

- Copyright &SHIE; artorlife -Diberdayakan- Powered by Blogger - Designed by SHIE -