- Back to Home »
- catatan kusam , human interest »
- cerita perjalanan - STREET JURNALIS
Posted by : Hery Amariansyah
Monday, 20 January 2014
Mata
melunak menyudut terlihat lebam akibat semalam mengopi santai dengan para YAKOBUS, santai sehingga tak sadar hari
sudah berlalu, sekarang waktunya untuk pergi beranjak dari persinggahan
mengahadiri acara organisasi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) FANATIK yang sekarang
mulai terlihat semangat dari anggota-anggota LPM dan mulai aktif. Aku pun menyeruput
kopi panas membagi sedikit suntikan dopping
untuk memulai pagi yang cerah menuju Pulau Madura disana aku telah ditunggu
oleh anggota LPM yang lain, ditengah perjalanan dering dari Handphone
berkali-kali berkicau, berhenti sejenak melihat layar handphone “12 pesan
diterima, 3 panggilan tak terjawab” tengokku heran. sudah di tunggu teman-teman
sampai mereka segitunya sms dan memanggilku melalui handphone, ku jawab singkat
kataku sambil meringis “iya sabar ya, om masih di jalan, ini masih di
suramadu.” Lalu ku lanjutkan perjalanan dengan sedikit ngebut, kulihat
mendung juga mulai merapat aku hanya
mengira itu gejala alam bukan suatu firasat alam untuk mengundangku datang di
acara ini.
Sampai juga
akhirnya bertemu teman-teman yang sedikit agak menjamur karena menanti ku, “ayo
kita berangkat” kataku tak bersalah. Teman-teman mengiyakan saja perkataan yang
spontan ku lontarkan, ku parkir sepedah motor di apartemen tempat anak-anak
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Karena konsep acara kali ini tak memperbolehkan
peserta membawa sepedah motor, kami semua nyetreet
biasa disebut begitu karena sepanjang perjalanan nanti kita akan menghadapi
sesuatu yang jarang di rasakan oleh kebanyakkan orang tentunya dengan banyak
berjalan kaki, serentak berpasang-pasang kaki menapaki jalan di kampus menuju
ke pertigaan kampus untuk menunggu angkutan kota menuju pelabuhan Kamal. Panas
terik tak terasa saat canda-candu dengan teman berasa semua baik-baik saja,
saat tiba angkutan kota menjemput dengan tawar menawar harga, kami pun naik
dengan harga yang lumayan murah bagi seorang pelajar seperti kami, sempat
terfikir olehku banyaknya angkutan umum yang masih menggunakan plat nomor
“hitam” inilah yang membuat kecemburuan sosial dikalangan supir dan juragan
angkutan kota, tak sedikit dari mereka yang langsung menegur begitu pun kami
sebagai seorang mahasiswa, seharusnya kami tak bisa diam dikala melihat suatu
kesenjangan hanya bisa bergumam di dalam hati, lihatlah betapa tidak
mengenakkan suasana disini ketika melihat supir-supir berbeda warna plat saling
mendahului mencari penumpang. Itu memang ironi yang tak seharusnya terjadi
semua manusia membutuhkan sebuah sokongan kehidupan hal tersebut tak luput dari
yang namanya “Uang”.
Melangkah keluar
dari angkutan umum sampai juga di pelabuhan Kamal menuju ke loket untuk membeli
Tiket “Pak Tiket, 5 untuk Mahasiswa” seru Imam. Harga tiket yang cenderung
lebih murah dari pada tiket untuk pengguna jasa penyeberangan antar pulau
kategori selain mahasiswa. Lihat saja bandingkan dengan mereka yang tidak
berstatus mahasiswa atau mereka yang berstatus sebagai orang umum biasa
dikenakan tariff lebih mahal Rp 1000 dibandingkan dengan Mahasiswa, TNI, Polisi.
Sudah terlihat spesial status sebagai Mahasiswa apa-apa serba murah, sudahlah
batin hanya mengernyit. apa yang menarik dari Mahasiswa sehingga hanya menyebut
nama Mahasiswa orang sudah begitu menghargai dengan respon begitu menerima
status sosial kami ini. Hanya pertanyaan yang berujung pada ke buntuan jawaban.
Menunggu kapal
merapat kusulut bara api di ujung lintingan tembakau pabrikan, santai menikmati
hembusan angin tepi laut selat Madura sambil bergurau dengan bapak-bapak
penyobek tiket, Wajah polos yang ditutupi dengan geliat datar masih kaku
bergumul dengan kakak tingkat walaupun kakak tingkat sudah menganggap dia
sebagai teman sebaya, dia masih ragu-ragu dalam berbicara denganku dan teman
yang lain. Terlihat Bagus mengajak ngobrol si Sepri seperti biasa dia hanya
menanggapi dengan ekspresi datar-datar saja. Hahaha aku pun malah sedikit
tergelitik dengan tingkah konyol bapak-bapak penyobek tiket. Kapal sudah
merapat siap untuk membawa rombongan berikutnya menuju pelabuhan Perak
Surabaya, bergegas masuk kapal kami menaiki tangga menuju ruang penumpang
dengan kursi berjajar rapi, kutempatkan diri tepat di deret tengah dengan
teman-teman, Imam yang saat itu masih di area kendaraan sedang menunggu mas
Lutfi selaku Tetua di LPM kami, karena tak kunjung terlihat hingga kapal
berangkat Imam menaiki tangga lalu duduk bersebalahan dengan kami, riuh suasana
kapal yang sudah terisi penuh oleh penumpang, mulai beraksilah penjaja berbagai
macam jualan mulai dari makanan sampai kebutuhan yang lain sekiranya bisa di
jual di kapal, tak luput pula pelopor sumbangan masjid yang masih giat mencari
dermawan yang rela menyisihkan sedikit rizkinya untuk di sumbangkan ke Masjid
atau kadang Panti Asuhan.
Raut melas gadis
kecil yang meminta-minta mengharap iba dari para dermawan, aku hanya bertanya
dalam hati dan pernah sewaktu aku menjadi mahasiswa baru di UTM ini, saat itu aku pernah menanyakan
alasan mengapa mereka meminta-minta.
waktu itu
mengobrol dengan bocah yang masih berumur sekitar 8 tahunan dan aku banyak
bertanya dengan gadis belia tentang profesinya.
“aku nyari uang
jajan kak!” sahutnya polos menggenggam uang recehan. ingin tahu ku makin
tersulut.
“Kok cari uang jajan emang adik ini nggak di kasih uang jajan sama orang tua?” Tanyaku heran.
“ya dikasih, nyari uang yang lebih banyak aja kak” jawab gadis berumur 8 tahunan memakai rok abu-abu itu.
“Kamu sekolah dik?” Tanyaku lagi masih penasaran.
“iya masih kak, tapi jarang masuk sekolah” memainkan uang koin di tangannya.
“Kok jarang sekolah kenapa ?” semakin heran.
“iya kalau aku nggak sekolah, ya di sini cari uang”. Singkat cerita gadis itu lebih memilih mencari uang tambahan jajan dari pada dia bersekolah, tidak seperti layaknya anak seumuran dia. Hingga banyak bujukku untuk mengajaknya tidak melakukan hal yang demikian pun sia-sia ya mungkin karena mereka sudah mengerti nikmatnya mencari uang sendiri walau mereka hanya meminta-minta. Ketika itu pikiranku berdesis tak karuan yang tertanam sampai sekarang, hanya karena alasan “uang” dia rela meninggalkan sekolahnya. Sangat ironi tapi inilah yang terjadi tak akan bisa memaksa apa yang dikehendaki semua orang toh semua orang memiliki hak untuk mengatur dirinya sendiri. Pada akhirnya pun aku cuek-cuek saja dan mulai merasa terbiasa dengan pemandangan yang sebenarnya tidak sedap di pandang mata.
“Kok cari uang jajan emang adik ini nggak di kasih uang jajan sama orang tua?” Tanyaku heran.
“ya dikasih, nyari uang yang lebih banyak aja kak” jawab gadis berumur 8 tahunan memakai rok abu-abu itu.
“Kamu sekolah dik?” Tanyaku lagi masih penasaran.
“iya masih kak, tapi jarang masuk sekolah” memainkan uang koin di tangannya.
“Kok jarang sekolah kenapa ?” semakin heran.
“iya kalau aku nggak sekolah, ya di sini cari uang”. Singkat cerita gadis itu lebih memilih mencari uang tambahan jajan dari pada dia bersekolah, tidak seperti layaknya anak seumuran dia. Hingga banyak bujukku untuk mengajaknya tidak melakukan hal yang demikian pun sia-sia ya mungkin karena mereka sudah mengerti nikmatnya mencari uang sendiri walau mereka hanya meminta-minta. Ketika itu pikiranku berdesis tak karuan yang tertanam sampai sekarang, hanya karena alasan “uang” dia rela meninggalkan sekolahnya. Sangat ironi tapi inilah yang terjadi tak akan bisa memaksa apa yang dikehendaki semua orang toh semua orang memiliki hak untuk mengatur dirinya sendiri. Pada akhirnya pun aku cuek-cuek saja dan mulai merasa terbiasa dengan pemandangan yang sebenarnya tidak sedap di pandang mata.
Kapal mulai
merapatkan haluannya, para penumpang saling mendahului turun, penuh sesak
dengan banyaknya penumpang yang beristirahat di samping kirikanan tangga utama.
Dan kami telah mendarat di pelabuhan ujung Surabaya. Teman-teman yang lain
sudah ada yang menunggu sejak tadi di sini, terlihat mendung sudah mulai
merapat, dengan segera kami berjalan menuju deretan bus kota menuju ke
Tunjungan Plasa (TP), agak lama menunggu akhirnya bus pun melaju di perjalanan
aku sudah merasa lelah bersandar sejenak ku memejamkan mata, tak terasa sudah
berhenti di halte simpang daerah sekitar TP, rintik hujan turun kami menuju semacam tempat anak muda
berkumpul untuk menemui para pioneer kami yang sedang menunggu kehadiran kami,
sesampainya disana kami segera membagi tugas dan kelompok, mendadak hujan malah
semakin deras acara pun tertunda hingga hujan mereda, sambil beristirahat dan
mengamati suasana di tempat nongkrong anak gaul Surabaya ini. Menikmati sajian
camilan dan sebatang lintingan tembakau pabrik, ku coret-coret lembaran kertas
kecil yang selalu ku bawa kemana-mana. Ku tulis suasana di tempat ini penuh
dengan gengsi yang syarat dengan jajanan mahal dengan style anak gaul Surabaya.
Akhirnya hujan
agak mereda waktu menjelang maghrib, kami pun langsung menuju TP, sampai di TP
kami berpencar dengan masing-masing kelompok, mengamati dan mendokumentasikan
apa yang kami dapat di TP, di tempat ini mayoritas adalah orang bermata sipit
alias singkek dalam bahasa jawanya,
umumnya orang-orang disini bergaya super glamour
dan Up date fashion maupun teknologi, menjadi seperti ajang adu gengsi,
cenderung cuek dengan keadaan di sekitarnya, dalam hati mengecap sangat minder
waktu itu berjalan di tengah-tengah keriuhan suasana glamour disini, kalau di
lihat aku pun tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan petugas cleaning servis, mata mulai tertuju pada kerumunan orang di lantai dasar super mall ini.
mereka
semua sedang asik menikmati acara hiburan dengan tema sesame street pentas drama musical yang mayoritas dinikmati oleh
anak-anak dan orang tua, bahasa yang di gunakan untuk pementasan ini pun
menggunakan bahasa ingris, wah keren anak-anak disini pasti sudah pintar
berbahasa inggris, batinku. Mengambil kamera yang semenjak tadi kusimpan dalam
tas kecil mulai ku abadikan moment hiburan masyarakat kalangan menengah keatas
ini, setelah dirasa cukup mengamati suasana di tempat ini, kami pun bergegas
untuk melanjutkan perjalanan ke taman Bungkul.
Hujan semakin
lebat membuat suasana semakin dingin menuju taman Bungkul dengan menaiki
angkutan kota, tampak orang-orang tergopoh-gopoh di jalan seperti ingin segera
sampai ke tempat tujuan. Sesampainya di taman Bungkul aku dan teman-teman
langsung mencari para pioneer yang katanya sudah ada di tempat. Terlihat mas
Lutfi bagian dari pemangku adat LPM Fanatik menggigil kedinginan sambil
menyeruput wedang jahe menikmati aroma dari tembakau yang terbakar di tangan,
mengajak ngobrol sejenak lalu mengajak pindah tempat ngopi, lalu kita pun
nongkrong di warung kopi yang berada tepat di bawah pohon beringin yang
rindang, memesan kopi panas untuk menghangatkan badan yang mulai menggigil
kedinginan, cuaca sama sekali tak memihak rupanya biasanya taman Bungkul yang
ramai dengan para pengunjung menjadi sepi, terlihat hanya beberapa pemuda
sedang bersantai menikmati suasana sepi taman Bungkul. Acara dilanjutkan dengan
breffing singkat dilanjutkan dengan melakukan penugasan lagi, untuk menghemat
waktu kami membagi lagi kelompok kami menjadi 2, kali ini aku satu kompi dengan
mas Sob sapaan akrabnya, kami berputar-putar kebingungan mencari narasumber
untuk di korek informasinya, Nampak di bagian belakang taman Bungkul ini ada
acara suatu operator seluler terdengar berisik dengan suara keras dari sound
sistem, aku pun mulai penasaran dalam hati bertanya tak adakah tenggang rasa
disini, padahal di sini terdapat wisata religi makam tokoh agama desa Bungkul
yaitu makam Mbah Bungkul yang terletak tidak jauh dari tempat acara tadi
berlangsung, kami pun menanyakan kepada salah satu panitia yang ada di acara
tersebut, saat kami menanyakan apakah tidak ada yang merasa terganggu dengan acara
seperti ini pada tempat yang dekat dengan lokasi wisata religi disini?
“kami sudah memiliki ijin untuk mengadakan acara mas. Jadi, kami pun berharap tidak ada yang terganggu dengan aktivitas acara ini.” sahut salesmen. Kami mengobrol sejenak dengan salesmen sedikit banyak mengenai taman Bungkul dan kesenjangan sosial yang terjadi di tempat ini, dapat di ringkas jika baik pengunjung taman Bungkul atau pun pengelola tempat hiburan masyarakat ini telah memiliki sikap yang sama yaitu sudah dianggap maklum suasana senjang seperti ini. Kami pun melanjutkan mencari informasi lagi ke pos polisi yang berada tepat di depan taman Bungkul, disana kami di sambut dengan senyum ramah bapak-bapak polisi yang sedang bertugas, sembari menawarkan air mineral kepada kami,
pak polisi bertanya “ada acara apa kesini mas?”.
“kami kesini untuk mencari tahu sekaligus melakukan pengamatan sosial yang ada di sini pak.” Sahut ku.
“ow, jadi masnya ingin tahu apa-apa saja yang terjadi disini atau gimana? Kalau masalah maling, preman dkk. ya disini banyak apalagi kalau ada acara-acara besar seperti dangdutan atau acara musik” jelas pak polisi.
“jadi disini sering terjadi kriminalitas ya pak? Kalau Mengenai makam yang ada disini dengan ramainya pengunjung taman apakah tidak ada laporan-laporan dari pihak pengelola atau pengunjung tempat ini pak?” Tanya mas Sob mulai penasaran.
“iya kalau kriminalitas itu pasti ada tapi ya tidak sering kalau sekarang ini, masalah laporan mengenai suasana ramainya pengunjung taman yang tidak singkron dengan makam sepertinya tidak ada mas, orang disini mungkin sudah di anggap lumrah hal yang demikian.” Jelas pak polisi.
Percakapan berlangsung singkat kami berpamitan dan langsung kembali ke tempat awal kami mengopi tadi, kembali kami berkumpul dengan kelompok kami tadi. Ngobrol-ngobrol sambil menghabiskan kopi yang tadinya panas sekarang sudah dingin.
Karena di kejar
waktu kami pun melanjutkan perjalanan menuju tempat selanjutnya yaitu stasiun
wonokromo, aku sebelum ini pernah mendengar disana adalah tempat para penjudi
dan wanita malam dengan deretan warung kopi remang-remang, otakku mulai
berputar-putar membayangkan apa yang akan ku lakukan disana? Aku pun tak tahu
tak sanggup membayangkan jika di sana aku berbaur dengan para pemabuk, penjudi,
juga pelacur. Kutepis semua bayangan negatif mulai kunikmati suasana perjalanan
dengan teman-teman yang masih terlihat semangat walaupun berjalan kaki, langkah
kaki terhenti ketika teman-teman mengajak berfoto bersama di depan monument
entah apa nama monument itu.
Raut wajah bersemangat masih terpasang di masing-masing
wajah teman-teman setelah puas mengabadikan moment bersama melanjutkan lagi
perjalanan, sesampainya di daerah stasiun wonokromo kami mulai risau dengan
sendirinya kami berembuk sekenanya mengenai bagaimana strategi untuk memasukkan
teman-teman kami yang perempuan kedalam lokasi yang begitu rawan ini, suasana
pasar maling begtu biasanya disebut oleh banyak orang, yang semakin malam
semakin padat pengunjung yang ingin berbelanja barang-barang yang murah di
pasar yang terletak di samping stasiun wonokromo, saat kami mengamati suasana
pasar maling terdengar sapaan tidak begitu jelas seperti memanggil kami,
menoleh kiri-kanan dan terlihat mas Tian selaku pioneer melambaikan tangannya
kearah kami, lekas kami pun menghampirinya, ternyata kami di ajak untuk
breffing dulu di dekat jembatan pintu air jagir.
sesampainya disana tak
mempunyai firasat yang buruk tiba-tiba dikagetkan dengan tatapan para pioneer
yang tidak begitu sedap, kami hanya diam dan cuek-cuek saja, ketika kami di berikan
kesempatan untuk breffing oleh para pioneer
kami lagi-lagi di kagetkan dengan suara keras dari mas Lutfi yang saat
itu marah karena tidak puas dengan hasil kerja kami yang katanya masih belum
maksimal, kami pun hanya diam mendengar mas lutfi berkhotbah, temanku fandik
menyauti ocehan mas Lutfi yang ketika itu emosi malah terkena luapan amarah.
Kami pun meminta agar mas lutfi agak kalem dalam menghadapi kami, kami pun
mulai mengobral janji kepada sang pioneer satu ini untuk bersngguh-sungguh kali
ini. Agak melunak suasana mulai terlihat ketika melihat senyum mas lutfi
cenderung tertawa ngakak melihat wajah kami yang cukup tegang di buatnya, “okey
cukup aktingnya selamat kalian sudah sampai sejauh ini, itu tadi Cuma
pembekalan mental buat nanti kalian beraksi.” Jawabnya menahan tawa. Lega agak mengerutkan hati aku pun ikut
menertawai diriku sendiri yang dari tadi hanya bertingkah bodoh di depan para
pioneer. Segera kami berjalan menuju TKP dalam perjalanan kami terhambat oleh
tingkah abang-abang becak yang menganjurkan kami supaya tidak masuk ke area
stasiun wonokromo tersebut dengan alasan karena sering adanya penertiban di
sana. Kami memutar dan mencari jalan lain, setelah menyusuri pasar maling
ternyata tepat antara lapak penjual berdempetan dengan tembok ada tangga untuk
masuk kedalam aku langsung diajak imam menaiki tangga untuk memasuki area malam
stasiun wonokromo. Baru kulihat sekilas banyak warung remang-remang di hias
dengan lampu redupnya, banyak pria berbadan kekar berkeliaran sepertinya
mencari mangsa, aku tak tahu harus melakukan apa aku berjalan mengitari
menganut alur rel kereta api, agak grogi sedikit gemetar entah rasa apa yang
saat ini ku alami, seperti sedang transfer dimensi yang sangat ektrim, menoleh
kiri kanan hanya terlihat orang tiduran santai sambil di pijat, di sudut gelap
terlihat banyak orang berkerumun curiga dengan suasana yang ada disana, aku pun
memberanikan diri untuk membaur bersama mereka, agak gelap hanya ada satu
sumber cahaya yang berasal dari senter hape yang menyoroti ke lembaran tulisan
angka-angka dan dadu, ternyata orang-orang yang disini sedang bermain judi
semacam otok istilah umumnya di sini.
Kembali aku berjalan melintasi warung-warung, tercium bau khas perempuan malam
yang mengundang gairah setiap laki-laki, sepanjang warung berjajar ternyata di
ikuti pula dengan berjajarnya tenda yang sama sekali tidak ada penerangan yang
meneranginya, ternyata tenda-tenda itu tempat buat pelanggan wanita malam yang
ingin mengeksekusi dan menikmati entah sekedar pijat ataupun mengincipi wanita
malam, langkahku mulai gusar ketika sesosok wanita mencegatku, “mas sampean
lapo riwa-riwi ket maeng iku” tanyanya dengan logat jawa, wanita berbadan
mungil terlihat masih wajah-wajah pelajar, “aku lagi lihat-lihat aja mbak”
jawabku spontan. “kalo Cuma lihat-lihat nggak mampir ya nggak enak mas”
sahutnya genit, “ iya mbak brapa duit kalo mampir mbak?” tanyaku memberanikan
diri. “biasa 50 rb aja mas udah sip deh pokoknya” tersenyum kecil, “aku nggak
ada uang segitu e mbak ada Cuma 15 rb” sahutku memancing, “ya nggak ada mas
kalo 15 rb, 25 rb aja deh mas mumpung masih sepi” jawabnya enteng, “iyae mbak
aku nggak ada uang kalo segitu” jawabku agak santai. “iya kalo nggak ada ya
ngopi aja deh mas, boleh minta rokok nggak mas?” ajaknya. “okeh dah, ayo
temenin aku ngopi aja ya mbak nanti tak bayari deh” jawabku sambil menyodorkan
rokok, aku lagi-lagi memesan kopi untuk sejenak memecah keheningan malam
sedikit mengurangi rasa grogiku. “mbak namanya siapa?aku hery mbak” kusodorkan
tanganku, “aku leny mas” jawabnya singkat. Sementara aku berkelok-kelok
memutar-mutar otak menyusun apa saja informasi yang aku butuhkan saat ini
sambil kuhisap lagi asap tembakau, “mbak masih sekolah ya kok kelihatannya
masih seger banget kelihatan masih belia” tanyaku mulai memancing suasana.
“kalo iya kenapa?” pandangannya berubah sinis. “kalo iya berarti mbak hebat”
jawabku sekenanya. “kok bisa, aku kayak gini ini sudah hancur-hancurnya orang
mas” mengerutkan dahi. “iya mbak juga
pastinya punya alasan sendiri untuk hal ini” meredam suasana. “aku kayak gini
awalnya itu ya karena aku ingin bisa membiayai sekolahku, karena orang tua yang
sudah tua dan kerjaan juga nggak netap mas, aku nggak bisa terus-terusan
ngandelin orang tua mas” matanya mulai berkaca-kaca. “iya kan berarti mbak
hebat, kalau kayak gini ini orang tua mbaknya tau?” tanyaku penasaran. “ya
nggak tahu mas, setahuku mereka Cuma ngerti kalo aku sering keluar malam gitu
aja”, jelasnya. “oh iya memang mbaknya masih kelas berapa ?” menyingkur sambil
menyeduh kopi. “aku masih SMA kelas 3 mas” tandasnya singkat. “mbak udah lama
disini?” tanyaku ngawur. “udah hampir 3 bulan aku disini mas” menyeka air
matanya yang mulai berlinang. “sudahlah mbak kita ngopi nggak buat bersedih
ria” mengundang suasana supaya agak cair. “iya mas, aku juga sebenarnya
menyesal aku jadi kayak gini, dulu aku pernah di paksa sama pacarku untuk
berbuat** setelah itu aku di tinggal,berhubung aku ini orangnya suka hyper
sekalian mas aku menjajakan diri disini itung-itung juga bisa membayar sekolah
dan menyanggupi nafsuku sendiri” jawabnya panjang lebar. Jujur sekali anak ini
batinku ataukah Cuma siasat agar nantinya aku terlena dengan kemelasan yang di
ciptakannya. “ya semua pasti punya alasan sendiri mbak, perjuangan bagaimana
mencari nafkah sendiri itu semua juga ada resikonya sendiri-sendiri” sahutku
sok bijak. Tiba-tiba ada sesosok pria menyapa leny ternyata dia adalah
langganan leny lalu leny pun berlalu tanpa ada kata dia hanya melambaikan
tangan padaku. Aku merenung sejenak begitu mudahnya alasan untuk terjerumus ke
lembah hitam, apa hanya karena sejalur dengan memuaskan diri sendiri untuk
mendapatkan rupiah demi membiayai sekolahnya. Apa ia tak kasihan jika orang
tuanya mengetahui kelakuannya di luar seperti ini. Hanya pertanyaan yang
terpendam, menggerus jagung bakar yang tadinya ku pesan dan melihat-lihat
sekitar. “woy koen nang kene tah di golek I ket maeng kok” sambar mas lutfi
yang dari tadi ternyata mencariku. “ayo kompol disek” ajak mas lutfi untuk
segera berkumpul dengan anggota LPM yang lain. Berkumpul lagi dengan
teman-teman tugas baru di bagi, aku tak tahu ternyata tugas baru di baagi oleh
mas lutfi aku yang dari tadi melakukan pengamatan jadi waktu penugasan aku
hanya mengopi bersama mas lutfi dan teman-teman hingga subuh warung-warung terlihat
mulai meringkas tenda-tenda suram, di sini aku belajar mengenai kerasnya
kehidupan tak semudah apa yang ku bayangkan sebelumnya aku salut dengan mereka
yang berjuang aku menghargai segala alasan mereka walaupun sedikit bertolak
belakang dengan apa yang aku fikirkan. Aku hanya bisa berangan jika esok tak
ada lagi alasan menggerutu kenyataan dalam kehidupan.