Posted by : Hery Amariansyah Monday 20 January 2014

Mata melunak menyudut terlihat lebam akibat semalam mengopi santai dengan para YAKOBUS, santai sehingga tak sadar hari sudah berlalu, sekarang waktunya untuk pergi beranjak dari persinggahan mengahadiri acara organisasi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) FANATIK yang sekarang mulai terlihat semangat dari anggota-anggota LPM dan mulai aktif. Aku pun menyeruput kopi panas membagi sedikit suntikan dopping untuk memulai pagi yang cerah menuju Pulau Madura disana aku telah ditunggu oleh anggota LPM yang lain, ditengah perjalanan dering dari Handphone berkali-kali berkicau, berhenti sejenak melihat layar handphone “12 pesan diterima, 3 panggilan tak terjawab” tengokku heran. sudah di tunggu teman-teman sampai mereka segitunya sms dan memanggilku melalui handphone, ku jawab singkat kataku sambil meringis “iya sabar ya, om masih di jalan, ini masih di suramadu.” Lalu ku lanjutkan perjalanan dengan sedikit ngebut, kulihat mendung  juga mulai merapat aku hanya mengira itu gejala alam bukan suatu firasat alam untuk mengundangku datang di acara ini.


Sampai juga akhirnya bertemu teman-teman yang sedikit agak menjamur karena menanti ku, “ayo kita berangkat” kataku tak bersalah. Teman-teman mengiyakan saja perkataan yang spontan ku lontarkan, ku parkir sepedah motor di apartemen tempat anak-anak Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Karena konsep acara kali ini tak memperbolehkan peserta membawa sepedah motor, kami semua nyetreet biasa disebut begitu karena sepanjang perjalanan nanti kita akan menghadapi sesuatu yang jarang di rasakan oleh kebanyakkan orang tentunya dengan banyak berjalan kaki, serentak berpasang-pasang kaki menapaki jalan di kampus menuju ke pertigaan kampus untuk menunggu angkutan kota menuju pelabuhan Kamal. Panas terik tak terasa saat canda-candu dengan teman berasa semua baik-baik saja, saat tiba angkutan kota menjemput dengan tawar menawar harga, kami pun naik dengan harga yang lumayan murah bagi seorang pelajar seperti kami, sempat terfikir olehku banyaknya angkutan umum yang masih menggunakan plat nomor “hitam” inilah yang membuat kecemburuan sosial dikalangan supir dan juragan angkutan kota, tak sedikit dari mereka yang langsung menegur begitu pun kami sebagai seorang mahasiswa, seharusnya kami tak bisa diam dikala melihat suatu kesenjangan hanya bisa bergumam di dalam hati, lihatlah betapa tidak mengenakkan suasana disini ketika melihat supir-supir berbeda warna plat saling mendahului mencari penumpang. Itu memang ironi yang tak seharusnya terjadi semua manusia membutuhkan sebuah sokongan kehidupan hal tersebut tak luput dari yang namanya “Uang”.

Melangkah keluar dari angkutan umum sampai juga di pelabuhan Kamal menuju ke loket untuk membeli Tiket “Pak Tiket, 5 untuk Mahasiswa” seru Imam. Harga tiket yang cenderung lebih murah dari pada tiket untuk pengguna jasa penyeberangan antar pulau kategori selain mahasiswa. Lihat saja bandingkan dengan mereka yang tidak berstatus mahasiswa atau mereka yang berstatus sebagai orang umum biasa dikenakan tariff lebih mahal Rp 1000 dibandingkan dengan Mahasiswa, TNI, Polisi. Sudah terlihat spesial status sebagai Mahasiswa apa-apa serba murah, sudahlah batin hanya mengernyit. apa yang menarik dari Mahasiswa sehingga hanya menyebut nama Mahasiswa orang sudah begitu menghargai dengan respon begitu menerima status sosial kami ini. Hanya pertanyaan yang berujung pada ke buntuan jawaban.

Menunggu kapal merapat kusulut bara api di ujung lintingan tembakau pabrikan, santai menikmati hembusan angin tepi laut selat Madura sambil bergurau dengan bapak-bapak penyobek tiket, Wajah polos yang ditutupi dengan geliat datar masih kaku bergumul dengan kakak tingkat walaupun kakak tingkat sudah menganggap dia sebagai teman sebaya, dia masih ragu-ragu dalam berbicara denganku dan teman yang lain. Terlihat Bagus mengajak ngobrol si Sepri seperti biasa dia hanya menanggapi dengan ekspresi datar-datar saja. Hahaha aku pun malah sedikit tergelitik dengan tingkah konyol bapak-bapak penyobek tiket. Kapal sudah merapat siap untuk membawa rombongan berikutnya menuju pelabuhan Perak Surabaya, bergegas masuk kapal kami menaiki tangga menuju ruang penumpang dengan kursi berjajar rapi, kutempatkan diri tepat di deret tengah dengan teman-teman, Imam yang saat itu masih di area kendaraan sedang menunggu mas Lutfi selaku Tetua di LPM kami, karena tak kunjung terlihat hingga kapal berangkat Imam menaiki tangga lalu duduk bersebalahan dengan kami, riuh suasana kapal yang sudah terisi penuh oleh penumpang, mulai beraksilah penjaja berbagai macam jualan mulai dari makanan sampai kebutuhan yang lain sekiranya bisa di jual di kapal, tak luput pula pelopor sumbangan masjid yang masih giat mencari dermawan yang rela menyisihkan sedikit rizkinya untuk di sumbangkan ke Masjid atau kadang Panti Asuhan.
Raut melas gadis kecil yang meminta-minta mengharap iba dari para dermawan, aku hanya bertanya dalam hati dan pernah sewaktu aku menjadi mahasiswa baru  di UTM ini, saat itu aku pernah menanyakan alasan mengapa mereka meminta-minta.
waktu itu mengobrol dengan bocah yang masih berumur sekitar 8 tahunan dan aku banyak bertanya dengan gadis belia tentang profesinya.
“aku nyari uang jajan kak!” sahutnya polos menggenggam uang recehan. ingin tahu ku makin tersulut.     
“Kok cari uang jajan emang adik ini nggak di kasih uang jajan sama orang tua?” Tanyaku heran.  
“ya dikasih, nyari uang yang lebih banyak aja kak” jawab gadis berumur 8 tahunan memakai rok abu-abu itu.   
“Kamu sekolah dik?” Tanyaku lagi masih penasaran.           
“iya masih kak, tapi jarang masuk sekolah” memainkan uang koin di tangannya.    
“Kok jarang sekolah kenapa ?” semakin heran.         
“iya kalau aku nggak sekolah, ya di sini cari uang”. Singkat cerita gadis itu lebih memilih mencari uang tambahan jajan dari pada dia bersekolah, tidak seperti layaknya anak seumuran dia. Hingga banyak bujukku untuk mengajaknya tidak melakukan hal yang demikian pun sia-sia ya mungkin karena mereka sudah mengerti nikmatnya mencari uang sendiri walau mereka hanya meminta-minta. Ketika itu pikiranku berdesis tak karuan yang tertanam sampai sekarang, hanya karena alasan “uang” dia rela meninggalkan sekolahnya. Sangat ironi tapi inilah yang terjadi tak akan bisa memaksa apa yang dikehendaki semua orang toh semua orang memiliki hak untuk mengatur dirinya sendiri. Pada akhirnya pun aku cuek-cuek saja dan mulai merasa terbiasa dengan pemandangan yang sebenarnya tidak sedap di pandang mata.

Kapal mulai merapatkan haluannya, para penumpang saling mendahului turun, penuh sesak dengan banyaknya penumpang yang beristirahat di samping kirikanan tangga utama. Dan kami telah mendarat di pelabuhan ujung Surabaya. Teman-teman yang lain sudah ada yang menunggu sejak tadi di sini, terlihat mendung sudah mulai merapat, dengan segera kami berjalan menuju deretan bus kota menuju ke Tunjungan Plasa (TP), agak lama menunggu akhirnya bus pun melaju di perjalanan aku sudah merasa lelah bersandar sejenak ku memejamkan mata, tak terasa sudah berhenti di halte simpang daerah sekitar TP, rintik hujan turun  kami menuju semacam tempat anak muda berkumpul untuk menemui para pioneer kami yang sedang menunggu kehadiran kami, sesampainya disana kami segera membagi tugas dan kelompok, mendadak hujan malah semakin deras acara pun tertunda hingga hujan mereda, sambil beristirahat dan mengamati suasana di tempat nongkrong anak gaul Surabaya ini. Menikmati sajian camilan dan sebatang lintingan tembakau pabrik, ku coret-coret lembaran kertas kecil yang selalu ku bawa kemana-mana. Ku tulis suasana di tempat ini penuh dengan gengsi yang syarat dengan jajanan mahal dengan style anak gaul Surabaya.

Akhirnya hujan agak mereda waktu menjelang maghrib, kami pun langsung menuju TP, sampai di TP kami berpencar dengan masing-masing kelompok, mengamati dan mendokumentasikan apa yang kami dapat di TP, di tempat ini mayoritas adalah orang bermata sipit alias singkek dalam bahasa jawanya, umumnya orang-orang disini bergaya super glamour dan Up date fashion maupun teknologi, menjadi seperti ajang adu gengsi, cenderung cuek dengan keadaan di sekitarnya, dalam hati mengecap sangat minder waktu itu berjalan di tengah-tengah keriuhan suasana glamour disini, kalau di lihat aku pun tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan petugas cleaning servis, mata mulai tertuju pada kerumunan orang di lantai dasar super mall ini.
 mereka semua sedang asik menikmati acara hiburan dengan tema sesame street pentas drama musical yang mayoritas dinikmati oleh anak-anak dan orang tua, bahasa yang di gunakan untuk pementasan ini pun menggunakan bahasa ingris, wah keren anak-anak disini pasti sudah pintar berbahasa inggris, batinku. Mengambil kamera yang semenjak tadi kusimpan dalam tas kecil mulai ku abadikan moment hiburan masyarakat kalangan menengah keatas ini, setelah dirasa cukup mengamati suasana di tempat ini, kami pun bergegas untuk melanjutkan perjalanan ke taman Bungkul.

Hujan semakin lebat membuat suasana semakin dingin menuju taman Bungkul dengan menaiki angkutan kota, tampak orang-orang tergopoh-gopoh di jalan seperti ingin segera sampai ke tempat tujuan. Sesampainya di taman Bungkul aku dan teman-teman langsung mencari para pioneer yang katanya sudah ada di tempat. Terlihat mas Lutfi bagian dari pemangku adat LPM Fanatik menggigil kedinginan sambil menyeruput wedang jahe menikmati aroma dari tembakau yang terbakar di tangan, mengajak ngobrol sejenak lalu mengajak pindah tempat ngopi, lalu kita pun nongkrong di warung kopi yang berada tepat di bawah pohon beringin yang rindang, memesan kopi panas untuk menghangatkan badan yang mulai menggigil kedinginan, cuaca sama sekali tak memihak rupanya biasanya taman Bungkul yang ramai dengan para pengunjung menjadi sepi, terlihat hanya beberapa pemuda sedang bersantai menikmati suasana sepi taman Bungkul. Acara dilanjutkan dengan breffing singkat dilanjutkan dengan melakukan penugasan lagi, untuk menghemat waktu kami membagi lagi kelompok kami menjadi 2, kali ini aku satu kompi dengan mas Sob sapaan akrabnya, kami berputar-putar kebingungan mencari narasumber untuk di korek informasinya, Nampak di bagian belakang taman Bungkul ini ada acara suatu operator seluler terdengar berisik dengan suara keras dari sound sistem, aku pun mulai penasaran dalam hati bertanya tak adakah tenggang rasa disini, padahal di sini terdapat wisata religi makam tokoh agama desa Bungkul yaitu makam Mbah Bungkul yang terletak tidak jauh dari tempat acara tadi berlangsung, kami pun menanyakan kepada salah satu panitia yang ada di acara tersebut, saat kami menanyakan apakah tidak ada yang merasa terganggu dengan acara seperti ini pada tempat yang dekat dengan lokasi wisata religi disini? 
     
“kami sudah memiliki ijin untuk mengadakan acara mas. Jadi, kami pun berharap tidak ada yang terganggu dengan aktivitas acara ini.” sahut salesmen. Kami mengobrol sejenak dengan salesmen sedikit banyak mengenai taman Bungkul dan kesenjangan sosial yang terjadi di tempat ini, dapat di ringkas jika baik pengunjung  taman Bungkul atau pun pengelola tempat hiburan masyarakat ini telah memiliki sikap yang sama yaitu sudah dianggap maklum suasana senjang seperti ini. Kami pun melanjutkan mencari informasi lagi ke pos polisi yang berada tepat di depan taman Bungkul, disana kami di sambut dengan senyum ramah bapak-bapak polisi yang sedang bertugas, sembari menawarkan air mineral kepada kami,            

pak polisi bertanya “ada acara apa kesini mas?”.       
“kami kesini untuk mencari tahu sekaligus melakukan pengamatan sosial yang ada di sini pak.” Sahut ku.
“ow, jadi masnya ingin tahu apa-apa saja yang terjadi disini atau gimana? Kalau masalah maling, preman dkk. ya disini banyak apalagi kalau ada acara-acara besar seperti dangdutan atau acara musik” jelas pak polisi.     
 “jadi disini sering terjadi kriminalitas ya pak? Kalau Mengenai makam yang ada disini dengan ramainya pengunjung taman apakah tidak ada laporan-laporan dari pihak pengelola atau pengunjung tempat ini pak?” Tanya mas Sob mulai penasaran.      
“iya kalau kriminalitas itu pasti ada tapi ya tidak sering kalau sekarang ini, masalah laporan mengenai suasana ramainya pengunjung taman yang tidak singkron dengan makam sepertinya tidak ada mas, orang disini mungkin sudah di anggap lumrah hal yang demikian.” Jelas pak polisi.          
Percakapan berlangsung singkat kami berpamitan dan langsung kembali ke tempat awal kami mengopi tadi, kembali kami berkumpul dengan kelompok kami tadi. Ngobrol-ngobrol sambil menghabiskan kopi yang tadinya panas sekarang sudah dingin.

Karena di kejar waktu kami pun melanjutkan perjalanan menuju tempat selanjutnya yaitu stasiun wonokromo, aku sebelum ini pernah mendengar disana adalah tempat para penjudi dan wanita malam dengan deretan warung kopi remang-remang, otakku mulai berputar-putar membayangkan apa yang akan ku lakukan disana? Aku pun tak tahu tak sanggup membayangkan jika di sana aku berbaur dengan para pemabuk, penjudi, juga pelacur. Kutepis semua bayangan negatif mulai kunikmati suasana perjalanan dengan teman-teman yang masih terlihat semangat walaupun berjalan kaki, langkah kaki terhenti ketika teman-teman mengajak berfoto bersama di depan monument entah apa nama monument itu. 
Raut wajah bersemangat masih terpasang di masing-masing wajah teman-teman setelah puas mengabadikan moment bersama melanjutkan lagi perjalanan, sesampainya di daerah stasiun wonokromo kami mulai risau dengan sendirinya kami berembuk sekenanya mengenai bagaimana strategi untuk memasukkan teman-teman kami yang perempuan kedalam lokasi yang begitu rawan ini, suasana pasar maling begtu biasanya disebut oleh banyak orang, yang semakin malam semakin padat pengunjung yang ingin berbelanja barang-barang yang murah di pasar yang terletak di samping stasiun wonokromo, saat kami mengamati suasana pasar maling terdengar sapaan tidak begitu jelas seperti memanggil kami, menoleh kiri-kanan dan terlihat mas Tian selaku pioneer melambaikan tangannya kearah kami, lekas kami pun menghampirinya, ternyata kami di ajak untuk breffing dulu di dekat jembatan pintu air jagir.
 sesampainya disana tak mempunyai firasat yang buruk tiba-tiba dikagetkan dengan tatapan para pioneer yang tidak begitu sedap, kami hanya diam dan cuek-cuek saja, ketika kami di berikan kesempatan untuk breffing oleh para pioneer  kami lagi-lagi di kagetkan dengan suara keras dari mas Lutfi yang saat itu marah karena tidak puas dengan hasil kerja kami yang katanya masih belum maksimal, kami pun hanya diam mendengar mas lutfi berkhotbah, temanku fandik menyauti ocehan mas Lutfi yang ketika itu emosi malah terkena luapan amarah. Kami pun meminta agar mas lutfi agak kalem dalam menghadapi kami, kami pun mulai mengobral janji kepada sang pioneer satu ini untuk bersngguh-sungguh kali ini. Agak melunak suasana mulai terlihat ketika melihat senyum mas lutfi cenderung tertawa ngakak melihat wajah kami yang cukup tegang di buatnya, “okey cukup aktingnya selamat kalian sudah sampai sejauh ini, itu tadi Cuma pembekalan mental buat nanti kalian beraksi.” Jawabnya menahan tawa.  Lega agak mengerutkan hati aku pun ikut menertawai diriku sendiri yang dari tadi hanya bertingkah bodoh di depan para pioneer. Segera kami berjalan menuju TKP dalam perjalanan kami terhambat oleh tingkah abang-abang becak yang menganjurkan kami supaya tidak masuk ke area stasiun wonokromo tersebut dengan alasan karena sering adanya penertiban di sana. Kami memutar dan mencari jalan lain, setelah menyusuri pasar maling ternyata tepat antara lapak penjual berdempetan dengan tembok ada tangga untuk masuk kedalam aku langsung diajak imam menaiki tangga untuk memasuki area malam stasiun wonokromo. Baru kulihat sekilas banyak warung remang-remang di hias dengan lampu redupnya, banyak pria berbadan kekar berkeliaran sepertinya mencari mangsa, aku tak tahu harus melakukan apa aku berjalan mengitari menganut alur rel kereta api, agak grogi sedikit gemetar entah rasa apa yang saat ini ku alami, seperti sedang transfer dimensi yang sangat ektrim, menoleh kiri kanan hanya terlihat orang tiduran santai sambil di pijat, di sudut gelap terlihat banyak orang berkerumun curiga dengan suasana yang ada disana, aku pun memberanikan diri untuk membaur bersama mereka, agak gelap hanya ada satu sumber cahaya yang berasal dari senter hape yang menyoroti ke lembaran tulisan angka-angka dan dadu, ternyata orang-orang yang disini sedang bermain judi semacam otok istilah umumnya di sini. Kembali aku berjalan melintasi warung-warung, tercium bau khas perempuan malam yang mengundang gairah setiap laki-laki, sepanjang warung berjajar ternyata di ikuti pula dengan berjajarnya tenda yang sama sekali tidak ada penerangan yang meneranginya, ternyata tenda-tenda itu tempat buat pelanggan wanita malam yang ingin mengeksekusi dan menikmati entah sekedar pijat ataupun mengincipi wanita malam, langkahku mulai gusar ketika sesosok wanita mencegatku, “mas sampean lapo riwa-riwi ket maeng iku” tanyanya dengan logat jawa, wanita berbadan mungil terlihat masih wajah-wajah pelajar, “aku lagi lihat-lihat aja mbak” jawabku spontan. “kalo Cuma lihat-lihat nggak mampir ya nggak enak mas” sahutnya genit, “ iya mbak brapa duit kalo mampir mbak?” tanyaku memberanikan diri. “biasa 50 rb aja mas udah sip deh pokoknya” tersenyum kecil, “aku nggak ada uang segitu e mbak ada Cuma 15 rb” sahutku memancing, “ya nggak ada mas kalo 15 rb, 25 rb aja deh mas mumpung masih sepi” jawabnya enteng, “iyae mbak aku nggak ada uang kalo segitu” jawabku agak santai. “iya kalo nggak ada ya ngopi aja deh mas, boleh minta rokok nggak mas?” ajaknya. “okeh dah, ayo temenin aku ngopi aja ya mbak nanti tak bayari deh” jawabku sambil menyodorkan rokok, aku lagi-lagi memesan kopi untuk sejenak memecah keheningan malam sedikit mengurangi rasa grogiku. “mbak namanya siapa?aku hery mbak” kusodorkan tanganku, “aku leny mas” jawabnya singkat. Sementara aku berkelok-kelok memutar-mutar otak menyusun apa saja informasi yang aku butuhkan saat ini sambil kuhisap lagi asap tembakau, “mbak masih sekolah ya kok kelihatannya masih seger banget kelihatan masih belia” tanyaku mulai memancing suasana. “kalo iya kenapa?” pandangannya berubah sinis. “kalo iya berarti mbak hebat” jawabku sekenanya. “kok bisa, aku kayak gini ini sudah hancur-hancurnya orang mas”  mengerutkan dahi. “iya mbak juga pastinya punya alasan sendiri untuk hal ini” meredam suasana. “aku kayak gini awalnya itu ya karena aku ingin bisa membiayai sekolahku, karena orang tua yang sudah tua dan kerjaan juga nggak netap mas, aku nggak bisa terus-terusan ngandelin orang tua mas” matanya mulai berkaca-kaca. “iya kan berarti mbak hebat, kalau kayak gini ini orang tua mbaknya tau?” tanyaku penasaran. “ya nggak tahu mas, setahuku mereka Cuma ngerti kalo aku sering keluar malam gitu aja”, jelasnya. “oh iya memang mbaknya masih kelas berapa ?” menyingkur sambil menyeduh kopi. “aku masih SMA kelas 3 mas” tandasnya singkat. “mbak udah lama disini?” tanyaku ngawur. “udah hampir 3 bulan aku disini mas” menyeka air matanya yang mulai berlinang. “sudahlah mbak kita ngopi nggak buat bersedih ria” mengundang suasana supaya agak cair. “iya mas, aku juga sebenarnya menyesal aku jadi kayak gini, dulu aku pernah di paksa sama pacarku untuk berbuat** setelah itu aku di tinggal,berhubung aku ini orangnya suka hyper sekalian mas aku menjajakan diri disini itung-itung juga bisa membayar sekolah dan menyanggupi nafsuku sendiri” jawabnya panjang lebar. Jujur sekali anak ini batinku ataukah Cuma siasat agar nantinya aku terlena dengan kemelasan yang di ciptakannya. “ya semua pasti punya alasan sendiri mbak, perjuangan bagaimana mencari nafkah sendiri itu semua juga ada resikonya sendiri-sendiri” sahutku sok bijak. Tiba-tiba ada sesosok pria menyapa leny ternyata dia adalah langganan leny lalu leny pun berlalu tanpa ada kata dia hanya melambaikan tangan padaku. Aku merenung sejenak begitu mudahnya alasan untuk terjerumus ke lembah hitam, apa hanya karena sejalur dengan memuaskan diri sendiri untuk mendapatkan rupiah demi membiayai sekolahnya. Apa ia tak kasihan jika orang tuanya mengetahui kelakuannya di luar seperti ini. Hanya pertanyaan yang terpendam, menggerus jagung bakar yang tadinya ku pesan dan melihat-lihat sekitar. “woy koen nang kene tah di golek I ket maeng kok” sambar mas lutfi yang dari tadi ternyata mencariku. “ayo kompol disek” ajak mas lutfi untuk segera berkumpul dengan anggota LPM yang lain. Berkumpul lagi dengan teman-teman tugas baru di bagi, aku tak tahu ternyata tugas baru di baagi oleh mas lutfi aku yang dari tadi melakukan pengamatan jadi waktu penugasan aku hanya mengopi bersama mas lutfi dan teman-teman hingga subuh warung-warung terlihat mulai meringkas tenda-tenda suram, di sini aku belajar mengenai kerasnya kehidupan tak semudah apa yang ku bayangkan sebelumnya aku salut dengan mereka yang berjuang aku menghargai segala alasan mereka walaupun sedikit bertolak belakang dengan apa yang aku fikirkan. Aku hanya bisa berangan jika esok tak ada lagi alasan menggerutu kenyataan dalam kehidupan. 

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Berlangganan Sinyal FX?

JustForex

Followers

Popular Post

- Copyright &SHIE; artorlife -Diberdayakan- Powered by Blogger - Designed by SHIE -