- Back to Home »
- TUGAS »
- PORNOTEKS
Posted by : Hery Amariansyah
Wednesday, 1 January 2014
TUGAS MATA KULIAH SOSIOLOGI KOMUNIKASI
ILMU
KOMUNIKASI
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS
TRUNOJOYO MADURA
2013-2014
KELOMPOK YANG
MEMBAHAS MENGENAI PORNOTEKS.
MATA KULIAH
SOSIOLOGI KOMUNIKASI KELAS A
APA ITU PORNO TEKS ?
Porno
teks merupakan karya pencabulan (porno) yang ditulis sebagai naskah cerita
atau berita dalam berbagai versi hubungan seksual,dalam berbagai bentuk narasi,
konstruksi cerita, testimonial atau pengalaman pribadi secara detail dan vulgar,
termasuk pula cerita porno dalam buku-buku komik, sehingga pembaca merasa
seakan-akan ia menyaksikan sendiri, mengalami atau melakukan sendiri peristiwa
hubungan-hubungan seks tersebut. Penggambaran yang detail secara narasi
terhadap hubungan seks ini menyebabkan terciptanya theatre of the mind pembaca
tentang arena seksual yang sedang berlangsung, sehingga fantasi seksual pembaca
menjadi “menggebu-gebu” terhadap objek hubungan seks yang digambarkan itu.
CONTOH-CONTOH
PORNO TEKS
Buku
pelajaran yang diduga mengandung unsur porno
Buku paket
pelajaran Bahasa Indonesia untuk kelas VI mengandung unsur porno ditemukan di
SDN Polisi IV dan Gunung Gede, Kota Bogor, Jawa Barat. Peristiwa tersebut
diketahui setelah salah seorang tua murid SDN tersebut melaporkan hal
tersebut. Dikutip dari komitesdnpolisi4.blogspot.com,
Rabu (10/7), dipaparkan kalimat-kalimat dalam buku yang disusun oleh Ade
Khusnul dan M. Nur Arifin itu.
Di antaranya
adalah kalimat "Jakunnya bergerak turun naik melihat kemolekan perempuan
itu". "Akhirnya terjadilah peristiwa yang merenggut kegadisannya
sekaligus menimbulkan tumbuhnya janin di perutnya." "Dari tempat
paling hina dunia ini, warung remang-remang tempat dia menjajakan badan."
"Sosok
jabang bayi yang meruak dari celah selangkangannya, pada kesadaran bahwa dia
adalah perempuan yang sewaktu-waktu mudah dihempas oleh jerat nafsu."
"Bergairahlah lelakiku. Aku ingin sekali menyempurnakan keinginanmu."
Tidak hanya itu, juga terdapat kalimat "Mereka tenggelam dalam pelukan dan ciuman." "Tangannya menggapai seakan meminta perempuan itu mendekat dan memeluk dirinya. Dan ketika perempuan itu terengkuh olehnya, pada telingan dia berbisik lirih. Gadis yang aku cintai."
"Dia pun gemetar dalam pelukan lelaki itu. Seperti lampu di kamar yang berpijar, dia merasa terbakar sendirian."
Tidak hanya itu, juga terdapat kalimat "Mereka tenggelam dalam pelukan dan ciuman." "Tangannya menggapai seakan meminta perempuan itu mendekat dan memeluk dirinya. Dan ketika perempuan itu terengkuh olehnya, pada telingan dia berbisik lirih. Gadis yang aku cintai."
"Dia pun gemetar dalam pelukan lelaki itu. Seperti lampu di kamar yang berpijar, dia merasa terbakar sendirian."
PORNO TEKS DALAM LIRIK LAGU
1. Mobil BergoyangSetiap malam di pinggir pantai mobil bergoyang
Tidak di pantai, tidak di hotel, orang bergoyang
Setiap malam di bawah lampu yang remang-remang
Ada patroli tapi tak peduli yang penting hepi
Lagu ini dinyanyikan Lia MJ bersama Asep Rumpi. Dari kata-kata yang dipilih sebagai sebuah lirik, memang sangat vulgar karena menggambarkan perilaku seks bebas dan tidak peduli dengan apa yang berlaku di masyarakat. Maka tak heran sepertinya jika lagu ini tak luput dari sorotan KPI.
2. Wanita Lubang Buaya
Wanita Lubang Buaya
Wanita kamu harus tahu
Mengapa lelaki buaya
Mau tahu jawabannya
Wanita punya lubang buaya
Ya, liriknya jika dibaca secara harfiah maupun tersirat tetap parah. Entah apa maksud pencipta lagu yang dinyanyikan Minawati Dewi ini. Yang pasti, lirik yang secara eksplisit melecehkan kaum wanita ini dianggap terlalu vulgar untuk dinyanyikan secara bebas.
3. Apa Aja Boleh
Ku cinta kamu, ku sayang kamu
Apa maumu bilang padaku
Aku kabulkan permintaanmu
Yang penting kamu jadi pacarku
Minta cium boleh, minta peluk bolehA
Apa aja boleh, semuanya boleh
Minta ini boleh, minta itu boleh
Apa aja boleh, semuanya boleh
Kalau dilihat, lirik yang dinyanyikan Della Puspita ini mungkin lebih soft sedikit. Namun jika dicermati lebih dalam, memang bisa menggambarkan konteks seks bebas di kalangan remaja. Menurut KPID NTB, lirik itu menceritakan kepasrahan seorang wanita yang rela menyerahkan segalanya mendapatkan sang pacar. Kalau menurutmu?
4. Hamil Duluan
Ku hamil duluan sudah tiga bulan
Gara-gara pacaran tidurnya berduaan
Ku hamil duluan sudah tiga bulan
Gara-gara pacaran suka gelap-gelapan
Lirik yang dilantunkan Tuty Wibowo begitu polos tanpa menggunakan pemilihan kata kiasan. Terang saja, lirik ini dianggap vulgar dan terang-terangan karena tidak sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat untuk tidak hamil di luar nikah.
5. Maaf Kamu Hamil Duluan
Maaf kamu hamil duluan
Sudah masuk tiga bulan jalan
Kadang aku senang, kadang aku bimbang
Aku gak nyangka ku sudah jadi ayah
Hampir mirip dengan 'kisah' Hamil Duluan, lagu milik Ageng Kiwi ini juga menceritakan kekasihnya yang hamil 3 bulan tapi belum juga dinikahinya. Di sini, si pria masih bingung, tapi juga senang karena sudah menjadi ayah meski tanpa istri. Fiuh...
6. Melanggar Hukum
Apakah aku telah melanggar hukum
Bila mencintai suami orang lain
Adakah undang-undang yang melarangnya
Katakanlah aku melanggar pasal berapa
Tanpa perlu penjelasan panjang, lirik ini sudah jelas masuk daftar lirik vulgar. Bagaimana tidak, dari bait-bait pertama yang dinyanyikan Mozza Kirana ini saja sudah menerangkan tentang kenekatan seorang wanita yang mencintai suami orang lain. Ditambah lagi, wanita ini bagai menantang dan rela dimadu.
7. Mucikari Cinta
Rupanya kau sang mucikari, seorang yang tak punya hati
Sering engkau paksa diriku untuk melayani temanmu
Bila ku menolak siksaan yang ku terima
Oke, mungkin cerita di sinetron zaman sekarang ada yang cukup kejam dan vulgar. Tapi apakah bisa dibayangkan cerita-cerita vulgar seperti itu dituangkan dalam lirik lagu seperti yang dinyanyikan Rimba Mustika ini? Terlalu kreatifkah? Atau memang hanya mencari sensasi?
8. Ada Yang Panjang
Ada yang panjang, ada yang pendek
Ada yang lentur, ada yang bengkok
Pikiran lelaki mau nekat takut sendiri
Cari rejeki kok malah dicaci maki
Lirik Rya Syakila ini memang cukup menggoda. Bahkan jika diartikan secara negatif, liriknya bisa menjurus kepada hal-hal berbau vulgar. Namun di sini, Rya juga menegaskan bahwa lagu itu sekedar banyolan belaka dan tidak ada maksud lain. Mmm... but who knows?
9. 1 Jam Saja
Aku disentuhnya, aku dibuainya
Aku diciumnya, aku dipeluknya
Aku dicumbunya, aku dirayunya
1 jam saja oh mesranya
Walaupun tak begitu jelas dengan lagu berlirik singkat yang dinyanyikan Saski ini, KPID NTB beranggapan bahwa lagu ini termasuk daftar cekal karena menyiratkan perilaku pacaran yang terlalu vulgar hingga cenderung ke arah seks pra nikah.
10. Jupe Paling Suka 69
Kau elus-elus tubuhku
Kau belai-belai rambutku
Terpejam-pejam mataku
Aduh aduh aduh nikmatnya
Duh aduh aduh asiknya
Desah indahmu menusuk kalbu
ITU ADALAH MACAM-MACAM CONTOH PORNO TEKS
PENGARUH PORNOTEKS MEDIA MASSA DAN SELEKTIVITAS ORANG
TUA PEKERJA TERHADAP PERSEPSI PENGETAHUAN SEKSUAL
REMAJA
bahwa pornografi dapat menimbulkan kecanduan justru
pada anak-anak dan remaja yang pandai (Sumber : www.Paramadina.co.id). Sedangkan pada tanggal 25 Maret 2007 LIPI juga mempersentasikan penelitiannya
mengenai ketagihan anak dalam mengakses tayangan pornografi baik di media
online maupun film, VCD ataupun DVD porno dan membaca majalah/buku porno yang
kemudian mendorong untuk melakukan hubungan seks di luar pernikahan.
Mencermati fenomena ini, sangatlah mengkhawatirkan
jikalau pembacanya justru mengkonsumsi pornoteks media tak hanya sajiannya saja
yang bersifat non fiksi tetapi justru membelinya hanya akan membaca sajian
fiksinya yang berbau esekesek atau berbau pornografi tersebut. Terutama bagi
kalangan remaja yang memiliki orang tua pekerja sehingga beberapa jam waktunya
di rumah sepulang sekolah tanpa perhatian kedua orang tuanya. Mengingat
pertumbuhan psikologis remaja sangat rentan dalam hal seksual. Jika tak
mendapatkan pengarahan yang tepat dikhawatirkan masa depan mereka menjadi
taruhannya.
Sajian-sajian berita non fiksi dan fiksi di media
cetak seringkali memberikan pengaruh yang sesuai dengan fungsi yaitu sejalan
dengan sajian informasi (fungsional), tetapi dapat juga memberikan pengaruh
yang menyimpang dari informasi yang ditayangkan (disfungsional), jika dikaitkan
dengan akibat apabila sajian yang diinformasikan tak sesuai dengan usia
pembacanya. Sehingga dikhawatirkan bisa merangsang perilaku agresif secara
seksual seseorang. Disfungsional juga bisa dikaitkan dengan adanya perubahan
jadwal pola hidup keseharian.
Banyaknya aktivitas sehari-hari yang dilakukan orang
tua di luar rumah, secara langsung berpengaruh terhadap intensitas mereka dalam
bertemu dan mendampingi anaknya sepulang mereka sekolah. Sehingga dimungkinkan
jika anak-anak usia remaja yang memiliki aktivitas negatif sepulang sekolah tak
bisa terdeteksi oleh kedua orang tuanya. Anak menjadi bebas dalam membaca
sajian informasi yang tidak sesuai usianya, tanpa bisa membedakan apakah
informasi yang bersangkutan sesuai dengan usianya ataukah tidak. Pada akhirnya
hal ini akan berpengaruh pada perkembangan seksual dan mental remaja. Dampak
tersebut berawal dari sedikitnya waktu orang tua di rumah, dan semakin
bervariasinya sajian informasi media cetak
yang mengandung kategori pornoteks sehingga perhatian
orang tua dalam menyeleksi informasi media cetak yang tak sesuai dengan usia
anak dan pada akhirnya berpengaruh pula pada perilaku seksual anak atau remaja.
1. Terdapat hubungan antara pornoteks di media massa
terhadap perilaku dan pengetahuan seksual remaja. Artinya, perbedaan mengadopsi
atau mengonsumsi sajian pornoteks akan menyebabkan perbedaan perilaku dan
pengetahuan seksual mereka.
2. Terdapat hubungan antara selektivitas orang tua
pekerja dan perilaku dan pengetahuan seksual remaja . Artinya, perbedaan
selektivitas pornoteks yang diterapkan orang tua akan menyebakan perbedaan perilaku
dan pengetahuan seksual mereka.
3. Terdapat hubungan antara pornoteks pada media massa
dan selektivitas orang tua pekerja terhadap perilaku pengetahuan seksual
remaja.
Adanya aktivitas orang tua di luar rumah sebagai
pekerja diperkirakan dapat mengurangi perhatian untuk menyeleksi informasi yang
mengandung pornoteks di media massa yang tidak sesuai dengan usianya sehingga
dikhawatirkan akan berpengaruh pula terhadap perilaku dan pemahaman pengetahuan
secara seksual. Baik itu berkaitan dengan intelektualitas, fantasi yang
berlebihan sehingga cenderung berefek negatif, atau merosotnya nilai-nilai
moral anak. Sesuai dengan teori empirisme dalam buku Kartini Kartono (1990:138)
dengan tokoh Francis Bacon (Inggris, 1561-1626) dan John Locke (Inggris, 1632-1704),
yang berpendapat bahwa
: “ Pada dasarnya anak lahir di dunia, perkembangannya
ditentukan oleh adanya pengaruh dari luar, termasuk pendidikan dan pengajaran”.
Dianggapnya anak lahir dalam kondisi kososng, putih
bersih seperti mejalilin (Tabola Rasa), maka pengalaman empiris anaklah yang
bakal menentukan corak dan bentuk perkembangan jiwa anak. Kaitannya dengan
fantasi yang dalam psikologi berarti daya jiwa untuk menciptakan
tanggapan-tanggapan baru atas bantuan tanggapan-tanggapan yang telah ada (lama),
spontan terkadang tanpa disadari, mudah sekali berubah, dan bersifat
menciptakan sesuatu yang baru. Anak usia remaja yang mengkonsumsi informasi
yang mengandung unsur pornoteks yang tidak diseleksi terlebih dahulu di mana
informasi tersebut tidak sesuai dengan usianya, maka cenderung akan timbul
fantasi yang negative. Dr. Maria Montessori dalam buku karangan Abu Ahmadi
(1991:65) berpendapat bahwa ;” Fantasi anak dalam perkembangannya harus
dibatasi tidak boleh dibiarkan seleluasa mungkin, sebab jika fantasi tidak
dibatasi dapat menghambat kemandirian anak-anak, menjadi tidak realistis”. Selain kedua hal tersebut di atas, moral juga merupakan salah satu aspek
yang dapat berpengaruh oleh informasi yang tidak sesuai dengan usia anak.
Karena pada dasarnya perkembangan moral anak dapat dipengaruhi dengan
keberadaan informasi yang mengandung pornoteks. Periode maturasi seksual yang
mengubah seorang anak menjadi orang dewasa yang matang secara biologis yang
mampu melakukan reproduksi seksual. Pubertas dimulai dengan periode pertumbuhan
fisik yang cepat yang disertai oleh perkembangan bertahap organ reproduksif dan
karakteristik seks sekunder (perkembangan payudara pada perempuan, jakun pada
lelaki, dan tumbuhnya rambut pubis pada keduanya). Terrdapat variasi yang luas
dalam usia di mana pubertas dimulai dan kecepatan perkembangannya. Sebagian
anak perempuan mencapai menarche (periode menstruasi pertama) sedini usia 11
tahun, yang lain selambatnya usia 17 tahun, rata-rata usia adalah 12 tahun 9
bulan. Anak lelaki ratarata mengalami percepatan mature dua tahun lebih lambat
jika dibandingkan dengan anak perempuan. Mereka mulai mengalami ejakulasi
dengan sperma hidup di suatu saat antara usia 12 dan 16 tahun, dengan rata-rata
usia 14,5 tahun (Atkinson,2007:189). Oleh karenanya adalah sesuatu yang sangat
riskan jika remaja tak bisa mengendalikan insting birahi yang menderanya
setelah mengkonsumsi informasi yang mengandung pornoteks di media massa.
Pornoteks Media Massa
Insting birahi itu sendiri salah satunya terstimuli
dengan adanya informasi yang bersifat pornografi di media massa. Saat ini
ketika masyarakat sudah terbuka, kemajuan teknologi komunikasi terus
berkembang, maka konsep pornografi juga telah bergeser dan berkembang. Oleh
karenanya secara garis besar, dalam wacana porno atau penggambaran tindakan
pencabulan (pornografi) kontemporer, terdapat beberapa varian pemahaman porno
yang dapat dikonseptualisasikan, seperti pornografi, pornoteks, pornosuara dan
pornoaksi. Dalam kasus tertentu semua kategori konseptual itu dapat menjadi
sajian dalam satu media, sehingga melahirkan konsep baru yang dinamakan porno
media, yang oleh Bungin (2009:341-144) dibagilagi menjadi beberapa jenis
berikut ini ;
a. Pornografi, konsep ini paling umum dikenali karena
sifatnya yang mudah dikenal, mudah ditampilkan, dan mudah dicerna. Pornografi
merupakan gambar-gambar perilaku pencabulan yang lebih banyak menonjolkan tubuh
dan alat kelamin manusia dengan sifat yang seronok, jorok, vulgar, sehingga
membuat orang yang melihatnya terangsang secara seksual. Pornografi dapat
diperoleh dalam bentuk foto, poster, lieflet, gambar video, film, gambar VCD
dan alat visual lainnya yang memuat gambar atau kegiatan pencabulan (porno).
b. Pornoteks, merupakan karya pencabulan (porno) yang
ditulis sebagai naskah cerita atau berita dalam berbagai versi hubungan
seksual,dalam berbagai bentuk narasi, konstruksi cerita, testimonial atau
pengalaman pribadi secara detail dan vulgar, termasuk pula cerita porno dalam
buku-buku komik, sehingga pembaca merasa seakan-akan ia menyaksikan sendiri,
mengalami atau melakukan sendiri peristiwa hubungan-hubungan seks tersebut.
Penggambaran yang detail secara narasi terhadap hubungan seks ini menyebabkan
terciptanya theatre of the mind pembaca tentang arena seksual yang sedang
berlangsung, sehingga fantasi seksual pembaca menjadi “menggebu-gebu” terhadap
objek hubungan seks yang digambarkan itu.
c. Pornosuara, yaitu suara, tuturan, kata-kata dan
kalimat-kalimat yang diucapkan seseorang, yang langsung atau tidak langsung,
bahkan secara halus atau vulgar melakukan rayuan seksual, suara atau tuturan
tentang objek seksual atau aktivitas seksual. Pornosuara secara langsung atau
tidak member penggambaran tentang objek seksual maupun aktivitas seksual
kepadalawan bicara atau pendengar, sehingga berakibat kepada efek rangsangan
seksual terhadap orang yang mendengar atau penerima informasi seksual itu.
d. Pornoaksi, merupakan aksi gerakan,lenggokan, liukan
tubuh, penonjolan bagianbagian tubuh yang dominan member rangsangan seksual
sampai dengan aksi mempertontonkan payudara dan alat vital yang tidak disengaja
atau disengaja untuk memancing bangkitnya nafsu seksual bagi yang melihatnya.
Pornoaksi pada awalnya adalah aksi-aksi subjek-subjek seksual yang
dipertontonkan secara langsung dari seseorang kepada orang lain, sehingga
menimbulkan rangsangan seksual bagi seseorang termasuk menimbulkan histeria
seksual di masyarakat.
e. Pornomedia, dalam konteks media massa, pornografi,
pornoteks, pornosuara dan pornoaksi menjadi bagian-bagian yang saling
berhubungan sesuai dengan karakter media yang menyiarkan porno tersebut. Namun
dalam banyak kasus, pornografi (cetak-visual) memiliki kedekatan dengan
pornoteks, karena gambar dan teks dapat disatukan dalam media cetak. Sedangkan
pornoaksi dapat bersamaan pemunculannya dengan pornografi (elektronik)karena
ditayangkan di televisi. Kemudian pornosuara dapat bersamaan muncul dalam media
audiovisual, seperti televisi, ataupun media audio seperti radio dan media telekomunikasi
lainnya seperti telepon. Bahkan varian-varian porno ini menjadi satu dalam
media jaringan, seperti internet yaitu yaitu yang sering dikenal dengan cybersex,
cyberporno dan sebagainya. Agenda media tentang varian pencabulan (porno) dan
penggunaan media massa dan telekomunikasi ini untuk menyebarkan pencabulan
tersebut inilah yang disebut sebagai pornomedia.
Dengan demikian, konsep pornomedia meliputi realitas
porno yang diciptakan oleh media, seperti antara lain gambar-gambar dan
teks-teks porno yang dimuat di media cetak, film-film porno yang ditayangkan di
televisi, cerita-cerita cabul yang disiarkan di radio, provider telepon yang
menjual jasa suara-suara rayuan porno dan sebagainya serta proses penciptaan
realitas porno itu sendiri seperti proses tayangantayangan gambar serta
ulasan-ulasan cerita tentang pencabulan di media massa, proses rayuan-rayuan
yang mengandung rangsangan seksual melalui sambungan telepon, penerbitan
teks-teks porno dan sebagainya. Pornomedia dalam berbagai bentuk pernah
diekspose oleh media massa yang memiliki kecenderungan penyajiannya terdorong
oleh beberapa kondisi sebagai
berikut;
(1) Ketika media telah kehilangan idealisme
(2) Ketika media massa tirasnya terancam menurun
(3) Ketika media massa perlu bersaing dengan sesama media
(4) Ketika media baru memposisikan dirinya di masyarakat
(5) Ketika masyarakat membutuhkan pemberitaan pornomedia.
Anak-anak dalam hal ini remaja, karena mereka hanya
memiliki beberapa pengalaman hidup, merupakan target utama untuk sosialisasi
pesan. Remaja juga subjek keprihatinan tentang efek sosialisasi media massa.
Masa remaja merupakan periode perubahan besar selama masih ada ketegangan
antara masa kanak-kanak dan dewasa. Selama ini waktu, remaja mulai membangun
kemerdekaan dari keluarga mereka, menjadi lebih berorientasi pada hubungan
dengan teman-teman dan integrasi dengan kelompok sebaya, mulai membentuk
identitas seksual mereka, dan menetapkan hubungan romantis dan seksual, juga,
mereka mulai pindah ke peran orang dewasa dan menerima tanggung jawab orang dewasa
(Strasburger, 1995).
Peran-peran baru ini disertai dengan banyak
ketidakpastian. Karena televisi menarik dan mudah tersedia, remaja mungkin
beralih ke media massa untuk informasi dan saran (Alexander, 1985; Johnstone,
1974).
Orang tua dan ulama prihatin bahwa media massa mungkin
mendorong remaja untuk mencoba perilaku orang dewasa (seperti minum dan seks)
sebelum mereka cukup dewasa untuk menangani konsekuensi, atau, media massa
dapat menyediakan model untuk perilaku tidak sehat yang terkait dengan masa
dewasa (misalnya, merokok). Banyak kekhawatiran tentang efek sosialisasi masih
berfokus pada televisi sebagai sumber efek negatif (Strasburger, 1995),
terutama yang paling sering menyaksikan program oleh remaja: musik video dan
sinetron remaja adalah waktu minat dalam belajar dan bereksperimen dengan seks.
Sayangnya, kebanyakan remaja mengalami kekurangan informasi mengenai pemahaman
tentang seks. J. D. Brown, Childers, dan Waszak dalam M.Perse (2008:98)
memberikan alasan bahwa media dapat menjadi sumber potensial efek pada
pengetahuan seksual remaja dan perilaku:
(a) Mereka memiliki sedikit pengalaman (baik dalam
tindakan atau observasi)
(b) Sumber informasi yang terbaik yaitu-orang tua dan
pendidik enggan untuk memberikan informasi dan remaja mungkin malu untuk
mendekati sumbersumber
(c) Takut terlihat bodoh dapat menyebabkan mereka
untuk bergantung pada sumber
impersonal, seperti media massa.
Sayangnya, pesan media tentang seks sering tidak
akurat dan tidak lengkap dan interpretasi remaja mengenai seks pada media
memiliki kemungkinan salah karena belum dewasa. Penggambaran dan diskusi
tentang seks sangat mudah ditemukan di hampir semua media, dari sinetron
televisi, ilmiah, majalah dan buku, dan pembicaraan di radio menunjukkannya.
Isi media massa dapat menjadi sumber efek pada pengetahuan dan perilaku seksual
pada remaja. Greenberg (1994), M.Perse (2008:105) menyarankan bahwa paparan
media yang mengandung seksual dapat menyebabkan beberapa efek untuk remaja:
(a) Perhatian yang lebih besar dengan masalah seksual,
(b) Persepsi bahwa seks adalah umum di antara orang
muda,
(c) Penerimaan yang ekstra lebih besar dan seks
pranikah, dan
(d) Keyakinan bahwa seks memiliki sedikit konsekuensi
negative.
Terdapat bukti sederhana bahwa paparan konten media
seksual terkait dengan sikap tentang seks dan perilaku seksual. Dalam
penelitiannya tersebut ia menemukan bahwa paparan media massa pada adegan seks
di luar pernikahan mempengaruhi nilai-nilai moral remaja usia 13 dan 14;
peserta eksperimen lebih cenderung untuk menilai sebagai pendidikan atau
informasi seksual yang "salah." Bandura (dalam M. Perse:114)
menunjukkan bahwa jangkauan pengetahuan manusia sangat terbatas jika hanya
dibatasi dengan apa yang kita bisa pelajari dari tindakan kita sendiri. Teori
pembelajaran sosial adalah pendekatan yang melihat komunikasi massa sebagai
agen yang berpotensi kuat dalam mengarahkan perilaku manusia. Dalam istilah
sederhana, pembelajaran sosial menjelaskan bahwa orang bisa berperilaku
menyerupai tindakan model yang mereka amati di media. Teori pembelajaran sosial
kognitif adalah pendekatan yang menekankan pentingnya aktivitas mental sebagai
prekursor untuk bertindak. Bahkan, faktor-faktor eksternal telah diprediksi
menjadi dampak pada perilaku individu.
Pembelajaran sosial bukanlah proses yang sederhana,
didasarkan pada pengamatan sederhana perilaku diikuti oleh imitasi.
Pembelajaran sosial adalah motivasi proses kompleks yang ditandai oleh empat
proses: perhatian, retensi, produksi, dan motivasi. Meskipun jelas bahwa beberapa
atribut konten media meningkatkan kemungkinan perhatian, hal ini merupakan
mental belajar pada perilaku yang mengintegrasikan ke dalam pengetahuan
sebelumnya. Pembelajaran sosial adalah sebuah proses belajar yang melibatkan
tindakan kognitif dan
keterampilan. Karena pembelajaran sosial berpendapat
efek jangka panjang, perilaku
model harus memiliki beberapa jenis representasi
kognitif. Beberapa perilaku dapat
diamati berkali-kali dalam belajar.
Hal yang akan menjadi sasaran pengamatan dari gejala
tersebut adalah hubungan antara orang tua dan anak, dalam pengawasan dan
pelarangan serta pembimbingan informasi yang mengandung pornoteks yang layak
konsumsi anak usia remaja. Dikondisikan seorang pekerja yang merangkap sebagai
seorang ibu rumah tangga, sebelum adanya deregulasi UU RI No.40 Tahun 1999
tentang Kebebasan Pers, setelah sampai di rumah akan menghabiskan waktunya
dengan beristirahat dengan melepas lelah dari kepenatan kesehariannya. Namun
setelah diberlakukannya UU tersebut yang berarti isi dan konten media massa
semakin bervariatif sehingga tak ada lagi pembatasan penyiaran dan informasinya
baik terkategori sebagai informasi yang mengandung pornografi atau pornoteks.
Adanya aktivitas orang tua di luar rumah sebagai
pekerja diperkirakan dapat mengurangi perhatian untuk menyeleksi informasi yang
mengandung pornoteks di media massa yang tidak sesuai dengan usianya sehingga
dikhawatirkan akan berpengaruh pula terhadap perilaku dan pemahaman pengetahuan
secara seksual.
Baik itu berkaitan dengan intelektualitas, fantasi
yang berlebihan sehingga cenderung berefek negatif, atau merosotnya nilai-nilai
moral anak. Sesuai dengan teori empirisme dalam buku Kartini Kartono (1990:138)
dengan tokoh Francis Bacon (Inggris, 1561-1626) dan John Locke (Inggris,
1632-1704), yang berpendapat bahwa : “ Pada dasarnya anak lahir di dunia,
perkembangannya ditentukan oleh adanya pengaruh dari luar, termasuk pendidikan
dan pengajaran”.
Dianggapnya anak lahir dalam kondisi kososng, putih
bersih seperti mejalilin (Tabola Rasa), maka pengalaman empiris anaklah yang
bakal menentukan corak dan bentuk perkembangan jiwa anak. Kaitannya dengan
fantasi yang dalam psikologi berarti daya jiwa untuk menciptakan
tanggapan-tanggapan baru atas bantuan tanggapan-tanggapan yang telah ada
(lama), spontan terkadang tanpa disadari, mudah sekali berubah, dan bersifat
menciptakan sesuatu yang baru. Anak usia remaja yang mengkonsumsi informasi
yang mengandung unsur pornoteks yang tidak diseleksi terlebih dahulu di mana
informasi tersebut tidak sesuai dengan usianya, maka cenderung akan timbul
fantasi yang negative. Dr. Maria Montessori dalam buku karangan Abu Ahmadi
(1991:65) berpendapat bahwa ;” Fantasi anak dalam perkembangannya harus
dibatasi tidak boleh dibiarkan seleluasa mungkin, sebab jika fantasi tidak
dibatasi dapat menghambat kemandirian anak-anak, menjadi tidak realistis”.
Selain kedua hal tersebut di atas, moral juga
merupakan salah satu aspek yang dapat berpengaruh oleh informasi yang tidak
sesuai dengan usia anak. Karena pada dasarnya perkembangan moral anak dapat
dipengaruhi dengan keberadaan informasi yang mengandung pornoteks. Periode
maturasi seksual yang mengubah seorang anak menjadi orang dewasa yang matang
secara biologis yang mampu melakukan reproduksi seksual. Pubertas dimulai
dengan periode pertumbuhan fisik yang cepat yang disertai oleh perkembangan
bertahap organ reproduksif dan karakteristik seks sekunder (perkembangan
payudara pada perempuan, jakun pada lelaki, dan tumbuhnya rambut pubis pada
keduanya). Terrdapat variasi yang luas dalam usia dimana pubertas dimulai dan
kecepatan perkembangannya. Sebagian anak perempuan mencapai menarche (periode
menstruasi pertama) sedini usia 11 tahun, yang lain selambatnya usia 17 tahun,
rata-rata usia adalah 12 tahun 9 bulan. Anak lelaki ratarata mengalami
percepatan mature dua tahun lebih lambat jika dibandingkan dengan anak
perempuan. Mereka mulai mengalami ejakulasi dengan sperma hidup di suatu saat
antara usia 12 dan 16 tahun, dengan rata-rata usia 14,5 tahun (Atkinson,2007:189).
Oleh karenanya adalah sesuatu yang sangat riskan jika remaja tak bisa
mengendalikan insting birahi yang menderanya setelah mengkonsumsi informasi
yang mengandung pornoteks di media massa.
Insting birahi itu sendiri salah satunya terstimuli
dengan adanya informasi yang bersifat pornografi di media massa. Saat ini
ketika masyarakat sudah terbuka, kemajuan teknologi komunikasi terus
berkembang, maka konsep pornografi juga telah bergeser dan berkembang. Oleh
karenanya secara garis besar, dalam wacana porno atau penggambaran tindakan
pencabulan (pornografi) kontemporer, terdapat beberapa varian pemahaman porno
yang dapat dikonseptualisasikan, seperti pornografi, pornoteks, pornosuara dan
pornoaksi. Dalam kasus tertentu semua kategori konseptual itu dapat menjadi
sajian dalam satu media,
Dengan demikian, konsep pornomedia meliputi realitas
porno yang diciptakan oleh media, seperti antara lain gambar-gambar dan
teks-teks porno yang dimuat di media cetak, film-film porno yang ditayangkan di
televisi, cerita-cerita cabul yang disiarkan di radio, provider telepon yang
menjual jasa suara-suara rayuan porno dan sebagainya serta proses penciptaan
realitas porno itu sendiri seperti proses tayangan-tayangan gambar serta
ulasan-ulasan cerita tentang pencabulan di media massa, proses rayuanrayuan yang
mengandung rangsangan seksual melalui sambungan telepon, penerbitan teks-teks
porno dan sebagainya.
Anak-anak dalam hal ini remaja, karena mereka hanya
memiliki beberapa pengalaman hidup, merupakan target utama untuk sosialisasi
pesan. Remaja juga subjek keprihatinan tentang efek sosialisasi media massa.
Masa remaja merupakan periode perubahan besar selama masih ada ketegangan
antara masa kanak-kanak dan dewasa. Selama ini waktu, remaja mulai membangun
kemerdekaan dari keluarga mereka, menjadi lebih berorientasi pada hubungan
dengan teman-teman dan integrasi dengan kelompok sebaya, mulai membentuk
identitas seksual mereka, dan menetapkan hubungan romantis dan seksual, juga,
mereka mulai pindah ke peran orang dewasa dan menerima tanggung jawab orang
dewasa (Strasburger, 1995). Peran-peran baru ini disertai dengan banyak ketidakpastian.
Karena televisi menari dan mudah tersedia, remaja mungkin beralih ke media
massa untuk informasi dan saran (Alexander, 1985; Johnstone, 1974).
Orang tua dan ulama prihatin bahwa media massa mungkin
mendorong remaja untuk mencoba perilaku orang dewasa (seperti minum dan seks)
sebelum mereka cukup dewasa untuk menangani konsekuensi, atau, media massa
dapat menyediakan model untuk perilaku tidak sehat yang terkait dengan masa
dewasa (misalnya, merokok). Banyak kekhawatiran tentang efek sosialisasi masih
berfokus pada televisi sebagai sumber efek negatif (Strasburger, 1995),
terutama yang paling sering menyaksikan program oleh remaja: musik video dan
sinetron remaja adalah waktu minat dalam belajar dan bereksperimen dengan seks.
Sayangnya, kebanyakan remaja mengalami kekurangan informasi mengenai pemahaman
tentang seks. J. D. Brown, Childers, dan Waszak dalam M.Perse (2008:98)
memberikan alasan bahwa media dapat menjadi sumber potensial efek pada
pengetahuan seksual remaja danperilaku:
(a) Mereka memiliki sedikit pengalaman (baik dalam
tindakan atau observasi)
(b) Sumber informasi yang terbaik yaitu-orang tua dan
pendidik enggan untuk memberikan informasi dan remaja mungkin malu untuk
mendekati sumbersumber
(c) Takut terlihat bodoh dapat menyebabkan mereka
untuk bergantung pada sumber
impersonal,
seperti media massa.
Sayangnya, pesan media tentang seks sering tidak
akurat dan tidak lengkap
dan interpretasi remaja mengenai seks pada media
memiliki kemungkinan salah
karena belum dewasa. Penggambaran dan diskusi tentang
seks sangat mudah
ditemukan di hampir semua media, dari sinetron
televisi, ilmiah, majalah dan buku,
dan pembicaraan di radio menunjukkannya. Isi media
massa dapat menjadi sumber
efek pada pengetahuan dan perilaku seksual pada
remaja. Greenberg (1994) dalam
M.Perse (2008:105) menyarankan bahwa paparan media
yang mengandung seksual
dapat menyebabkan beberapa efek untuk remaja:
(a) Perhatian yang lebih besar dengan masalah seksual,
(b) Persepsi bahwa seks adalah umum di antara orang
muda,
(c) Penerimaan yang ekstra lebih besar dan seks
pranikah, dan
(d) Keyakinan bahwa seks memiliki sedikit konsekuensi
negative.
Terdapat bukti sederhana bahwa paparan konten media
seksual terkait dengan sikap
tentang seks dan perilaku seksual. Dalam penelitiannya
tersebut ia menemukan
bahwa paparan media massa pada adegan seks di luar
pernikahan mempengaruhi
nilai-nilai moral remaja usia 13 dan 14; peserta
eksperimen lebih cenderung untuk
menilai sebagai pendidikan atau informasi seksual yang
"salah."
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, H.Abu.(1991). Psikologi Perkembangan. Jakarta:
Rineka Cipta
Atkinson, Rita. Dkk.(2007). Pengantar Psikologi.edisi
ke-11.Batam: Interaksara
Bungin, Burhan.(2008).Konstruksi Sosial Media
Massa:Kekuatan Pengaruh Media
Massa,Iklan Televisi dan Keputusan Konsumen Serta
Kritik Terhadap Peter
L.Berger&Thomas Luckmann.Jakarta:Kencana
Bungin, Burhan.(2009).Sosiologi Komunikasi :Teori,
Paradigma dan Diskursus
Terknologi Komunikasi di Masyarakat.Jakarta:Kencana
Fisher, A. Aubrey.(1986). Teori-teori Komunikasi.
Bandung : PT Remadja
Rosdakarya
Drever, James.(1986). Kamus Psikologi. Jakarta: Bina
Aksara
Kartono, Kartini.(1990). Psikologi Perkembangan Anak.
Bandung : CV Mandar
Maju
Perse, Elizabeth M.(2001).Media Effects and
Society.New Jersey: Lawrence
Erbaum Associates
Siegel, S. (1992). Statistik Non Parametrik: Untuk
Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: PT
Gramedia