Cerita Perjalanan : PJTD LPM GALERI STIT SUNAN GIRI TRENGGALEK
Foto bersama se-usai acara PJTD bersama LPM Galeri |
Pelatihan Jurnalistik Tingkat Dasar (PJTD) yang
diselenggarakan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) GALERI STIT SUNAN GIRI
Trenggalek dengan tema “Eksplorasi
Industri Masyarakat Melalui Jurnalistik”. Dilaksanakan pada hari
Jum’at-Minggu, tanggal 09-11 Mei 2014. LPM
FANATIK beserta seluruh LPM yang ada di Universitas Trunojoyo Madura (UTM)
mendelegasikan masing-masing anggotanya untuk mengikuti acara tersebut.
Dalam acara PJTD yang merupakan agenda pelatihan
tingkat dasar untuk pengetahuan mengenai dunia jurnalistik. Anggota delegasi
LPM dari UTM datang membawa 27 orang di sambut baik oleh tuan rumah,(9/5)
tempat PJTD berada di
Dusun Dawuhan Pule Desa Sukorejo Kecamatan Gandusari Kabupaten
Trenggalek. Hari pertama peserta PJTD di mulai dengan materi
mengenai wacana Pers dan pengamatan.
Hari kedua, (10/5) Peserta PJTD di lanjutkan dengan
materi mengenai teknik penggalian data dan reportase, materi kali ini
menjelaskan tentang bagaimana cara dan teknik dalam menggali data dan mencari
data. Setelah materi penggalian data dan reportase selesai peserta mengikuti
materi selanjutnya mengenai teknik penulisan berita. Dalam materi teknik
penulisan berita peserta di jelaskan mengenai macam-macam jenis penulisan
berita diantaranya ada penulisan berita langsung, sedang, dan mendalam.
Beda, Mencintai Antar Manusia Dengan Mencintai Tuhanmu
Berselancar
di dunia maya adalah hal yang membuatku tak bosan-bosannya untuk mencari
sebanyak apapun informasi. Sampai hari ini aku tak tahu semua orang termasuk
aku seperti telah menuhankan dunia maya. Banyak waktu terbuang banyak hal di
dunia nyata yang di tinggalkan. Hingga pada akhir ku temui titik lemah manusia
dalam masalah olah rasa. Hal ini yang membuatku dari siang tadi berfikir keras
sehingga aku mendiskusikan suatu permasalahan mengenai CINTA dan NAFSU karena
teman diskusiku kali ini adalah nyos dan kebetulan ku temui dalam statusnya di
FB mengatakan “Jika wajah yg membuatmu jatuh cinta , lantas bagaimana
caramu mencintai Tuhan yg tak berupa (?)”.
Pada saat
itu juga aku marah dalam batinku aku banyak bertanya-tanya “apakah yang di
fikirkan anak ini, kenapa dia seolah menuntut manusia menyamakan CINTAnya
kepada Tuhan dengan CINTAnya kepada manusia?”
“Cinta
kepada manusia, BEDA dengan cinta kepada Tuhan. Lantas mengapa kau menuntut hal yang
sama. Fikirkan
lagi dik. :D” komentarku
menyangkal.
Beberapa saat
selanjutnya dia membalas “Apa yang memBEDAkan kakak (?) karena pada
dasarnya itu menuntut hal yang sama yaitu menuntut SETIA dan tak menDUA. :D” jawabnya masih kukuh.
Karena yang
aku rasakan dan aku tahu CINTA itu juga memiliki NAFSU maka aku benturkan saja
dengan pendapat “NAFSU mu terhadap manusia dan kepada Tuhanmu.”
“Tapi
sayangnya CINTA itu bukanlah tentang NAFSU” Namun dia masih belum paham rupanya antara NAFSU dan CINTA itu
sangatlah dekat.
“CINTA itu apa nyos ? NAFSU
itu apa nyos ? Kamu ingin makan.
Itu apa nyos? Kamu ingin memiliki.
itu apa nyos? Atau
bentuk nyata dari cinta yang kamu omongkan itu apa nyos?” inginku nalar lebih jauh.
Dari Cucian Hingga HAPE Kebasahan
Masih siang, teringat
dengan baju-baju yang belum di cuci. Baju-baju yang sudah lama tidak ku pakai. Sibuk
adalah salah satu alasanku untuk tidak mulai mencuci bajuku dari hari-hari
kemarin. Padahal ya bukan karena sibuk aja, ya memang ada suatu tekanan juga
yang terdapat dalam diri sendiri sehingga apa pun yang ku kerjakan terasa
berat.
Terasa berat setiap
kali bangun pagi, hingga akhirnya ku olor-olor waktu supaya nyawa-nyawa yang
semalam melancong entah kemana berkumpul dulu. Memusatkan fikiran untuk focus kepada
apa yang mau ku kerjakan di siang hari seperti ini. Di hari yang semakin panas
saja. Ku sandarkan diri sejenak melihat ruangan yang tidak jauh beda dengan
yang namanya taman kanak-kanak. Dinding penuh dengan coretan-coretan entah
itu spidol, cat, atau bahan lain yang
bisa untuk mewarnai.
Terlihat candela sudah
di penuhi oleh sinar matari yang mulai tinggi. ku persiapkan pakaian kotor yang
sedari jauh hari tergeletak begitu saja. Ku masukkan tas semua hingga terlihat
sesak. Aku paksakan saja dari pada tidak tercuci nantinya.
“Eh Paidi, mau kemana kamu?” terdengar suara Butet
yang beringsut dari tidurnya.
“Ini aku mau pulang ke kos dulu, mau nyuci baju. Udah lama aku nggak cuci baju-baju ini” sahutku kepada Butet, pada saat itu ada Gareng juga yang sedari pagi sudah bangun dan menghadap layar laptopnya.
Kampus Malam
Hari ini,
sabtu memang hari yang mengerikan. Terutama di kawasan kampusku yang indah di
siang harinya, kampus yang masih terlihat asri oleh banyaknya pepohonan rindang
dan karpet rumputnya. Ya bukan sebuah alasan juga untuk tetap ramah kepada
alam. ya memang salah satu alasannya kampus ku jauh dari peradaban. Jangankan
hiburan semacam warung kopi. Kampus sendiri yang biasa kujadikan tempatku
berlindung dan bertidur ria Nampak seram saat kegelapan malam hinggap mencekam.
“Hahahaha….. Haaaahhhhaaaahhhaaa….. Karena
kampus kita adalah kampus kegelapan, dari mahasiswa sampai dosen dan jajaran pejabat
kampusnya” aku berdakwah di hadapan gareng.
“Haaahahahaha….. memang semua seolah sudah di
sengaja biar sabtu-sabtu gini gak ada yang lewat sini. Ya supaya nggak terjadi
hal-hal yang di inginkan” sambar Gareng.
“kampus semegah dan segelap ini, siapa yang mau
jalan kalau situasi dan kondisi jalan sendiri masih rapat dengan kegelapan”
tambahku melengkapi.
“tapi di jalan menuju asrama itu kan ada lampu
penerangan jalan Di, kalau nggak salah sih itu juga seperti lampu disko” tandas
Gareng.
Di jalan
menuju asrama memang terpasang berbaris lampu jalan yang bertenaga surya, tapi
kalau pas malam lampunya ngadat-ngadat sendiri, nggak tau juga sih apa karena kualitas
dari lampunya atau karena mendung pada saat siang hari atau bahkan hujan di
siang bolong. Tapi kalau nggak mendung dan nggak hujan lampu pun sama seperti
demikian.
Lucunya
lagi di tiap persimpangan baik pertigaan, perempatan, atau perlimaan atau bahkan
lebih karena jalur di kampus juga cukup banyak tapi ya sempit. Sampai-sampai
kalau mobil Rektor lewat harus dikawal satpam untuk memperlancar jalan suapaya
cepet nyampai di rumah.
“oh iya Di, kenapa pada saat aku jalan-jalan di
sekitaran kampus nggak pernah lihat setan ya? Tapi tetep saja serem walau nggak
pernah lihat setan sih” pertanyaan keluar dari mulut si Gareng.
“padahal di pinggiran jalan sono tuh banyak
banget loh setannya reng” jawabku pada gareng yang menggaruk kepalanya.
“masak Di, aku kok nggak tahu ya setahuku sih
Cuma ada pasangan cewek-cowok yang lagi malam mingguan atau sekedar berkumpul
dan berdendang bersama” sanggah Gareng dengan wajah polosnya.
“ya kamu memang belum paham betul dengan setan
reng, setan itu sekarang wujudnya nggak seperti setan pada umumnya” jelasku
dengan menunjuk kesalah satu sudut gelap Nampak baying-bayang hitam.
“wih jadi lebih serem ya Di kalo seperti itu,
aku mulai paham kalo sekarang setan wujudnya nggak berupa setan juga, ternyata
setan juga bisa jadi cantik ya” Gareng masih menggaruk kepalanya karena heran.
Jika suatu
saat nanti kampus ini benar-benar menjadi kampus yang sudah terang benderang
mungkin setan juga akan beralih profesi, mungkin jadi sebuah nilai tambah bagi
setan untuk berfikir ulang menjelma menjadi sosok berparas cantik. Mungkin juga
setan akan menjadi sosok yang sebenarnya. Atau masih tetap dengan ciri khasnya,
seperti saat ini setan pun terpengaruh oleh era globalisasi.
Jadi Gareng
sebagai sosok setan harusnya sudah tahu saat setan menjelaskan tentang setan
dan membicarakan tentang kesetanannya kemarin hari.
*ini kisah
diambil gara-gara Gareng tertawa sendiri memikirkan keadaan kampunya yang gelap
gulita.
*masalah
setan itu hanya kiasan belaka.
*dan
mengenai Rektor yang di kawal oleh satpam itu beneran.
*terilhami
dari tekanan batin di hari sabtu.
Gelagat Seorang Mbambe Dihadapan Peranakan Hawa
Sebelum
kutulis semua apa yang ingin ku lontarkan untuk memberi sedikit ketenangan. Ya maksudnya
bukan untuk ketenanganmu. Ini semata-mata hanya untuk memberi ketenangan pada
diriku sendiri yang saat ini masih sangat sulit untuk belajar mengagumimu,
mengindahkanmu, sekedar mempertahankan posisiku sebagai pengagum yang mulai
menggelepar karena sudah hampir tidak berdaya lagi menghadapimu. Menghadapi sosok
yang menurutku memang sengaja di cipta oleh tuhan untuk meng-iming-imingiku
supaya aku lebih giat lagi dalam menggapai semua keinginanku. Aku disini tak
hanya ingin menggambarkan betapa keegoisan telah merasuk kedalam relung-relung
jiwa seakan telah menjadi dogma atas segalanya walaupun tetap aku percaya maha
segala adalah tuhanku. Tapi mengertilah aku disini masih ingin menulis dan
menulis lagi untuk sejarah untuk romansa kehidupanku. Kelak supaya tahu anak
cucuku aku pernah melakukan apa saja selama hidupku.
Resensi Buku : Gadis Pantai
“Mengerikan bapak, mengerikan kehidupan priyayi ini,
seganas-ganas laut, dia lebih pemurah dari hati priyayi. Ah tidak, aku tak suka
pada priyayi. Gedung-gedungnya yang beridinding batu itu neraka. Neraka. Neraka
tanpa perasaan”
-
Pramoedya Ananta toer
Gadis
Pantai sebuah roman yang tidak selesai. Roman ini merupakan trilogy yang tidak akan pernah selesai.
Karena
buku lanjutan Gadis Pantai raib ditelan keganasan kuasa. Ditulis oleh
Pramoedya Ananta Toer, terakhir terbit pada September 2011 oleh penenerbit
Lentera Dipantara, Jakarta Timur. Roman ini menceritakan kisah seorang gadis
belia yang masih dibawah umur. Ia berasal dari keluarga nelayan dan kampung
yang biasa ia sebut sebagai “kampung nelayan” sepenggal pantai keresidenan
Jepara Rembang. Gadis Pantai merupakan bunga kampung yang cantik, lugu, dan
cerdas. Paras cantik itulah yang menarik hati seorang pembesar atau priyayi pada masa itu,
seorang “Bendoro” yang hendak menjadikannya sebagai istri percobaan atau biasa disebut
“Mas Nganten” nya. Pada tahun pertama pernikahannya dengan Bendoro, ia sudah
mulai terbiasa dengan segala aktifitasnya dirumah megah itu, dengan bantuan
“bujang tua” seorang pembantu yang senantiasa menjaga dan membantunya sudah
dianggapnya seperti sahabat. Sampai suatu ketika bujang tua harus rela
meninggalkan Gadis Pantai sendiri karena ia diusir oleh Bendoro atas
perilakunya yang berani menggugat “Agus-agus” sebutan dari anak laki-laki
keturunan Bendoro yang juga tinggal dirumah Bendoro meskipun memang
salah satu diantara Agus itu terbukti bersalah telah mengambil uang Gadis
Pantai.
Cuap-Cuap Para Petinggi Begundal
Sekitar dua
minggu yang lalu, muka masih kummel dengan bercak garis-garis bekas tidur di
atas tikar lusuh bekas. Mata masih merah padam, kelopak mata tak lagi mampu
menyembunyikan amarahnya. Terbangun dengan jam weaker yang bordering.
“krriiiiinnnngggg…..
kkkiiirrrrrriingggg … kkreeekkk” suara
diakhiri dengan bantingan jam ke dinding.
Menoleh
kedalam lemari terlihat tumpukan buku yang tadinya rapi, seperti tergoncang
karena pagi ini ia melihat buku yang tadinya tertata rapi malah di pagi ini
porak-poranda seperti habis di hantam badai. Di ulasnya lagi kejadian yang
kemungkinan bisa menjelaskan kejadian di pagi hari ini.
****
Si Gareng Vs Komplotan Cengkareng
Seolah hari ini banyak yang beda, terasa tidak
seimbang antara apa yangada di benakku dan apa kenyataan yang ada di hari ini. Semua kembali terasa
miring, antara perasaan yang masih kalut dengan tampilan yang kian hari kian
merengut, entah firasat apa yang di sampaikan alam kepadaku. Seharian penuh
kulalui dengan bosan. Seharian penuh kulalui juga dengan penuh keriangan. Aku
tak tahu setan apa yang menyambarku saat tadi magrib aku dihidangkan dengan
nuansa firasat yang seolah berkata segeralah sadar dengan apa yang akan
terjadi.
Hape berdering, “Minta tolong, di depan kampus
katanya ada anak * dari kita lagi bermasalah!” sms datang dari jendral karbit.
“siapa cong, aku kok gak tau, kenapa dia?” aku
bingung.
“ya coba di cek dulu, tolong!” sahut jendral karbit.
“siap jendral, laksanakan” pungkasku.
Langsung pada waktu itu aku yang lagi
sibuk-sibuknya mencari wifi gratisan di kantin bersama kawan-kawan. Untuk
mengerjakan tugas kuliah yang belum selesai sama sekali. Kutancapkan kontak
sepedah motor berboncengan dengan Bagong, Petruk pun melesat menuju depan
kampus dengan cepat.
***
Nostalgia Gila
Dulu sekali waktu aku masih
sekolah di salah satu SMA favorit di daerahku, aku rasa hanya ada perasaan
beruntung bisa masuk di sekolah favorit ini. Tiap hari-hariku kulalui dengan
santai dan tenang layaknya pelajar SMA pada jamannya, yang masih berfikiran
bahwasanya di SMA adalah masa dimana siswa seperti aku ini harus pandai dalam
segala hal, mulai dari pelajaran, bersosial, hingga mengatasi masalah
perkelaminan. Yang dari dulu aku gak pernah bisa paham kenapa ada teori semacam
itu dalam masa menuju sebuah pendewasaan diri, dan pikiran semacam itu
seringkali mengganggu kinerja otak dan batin, kadang sampai menciptakan
kemalasan untuk belajar hingga berlarut-larut.
Ya, mungkin saat itulah aku
mulai terlena dengan kondisi sosial yang menuntut diriku supaya tidak sadar.
Baru berasa jika efeknya begitu besar, aku terlampau bebas saat remaja. Hingga
tak mampu mengontrol diri, semua yang kulakukan cenderung negative, semua yang
terlintas di benakku adalah kesenangan. Gak peduli apa ada yang nangis saat aku
senang apa ada yang memelas saat aku bahagia. Saat itu bangku masih terlihat
kosong tak ada sebatang tubuh pun yang Nampak dalam kelas. Angin di pagi ini
menyenggol-nyenggol seolah mulai menggoda untuk mengajakku ngopi di warung
Depan SMA, dengan tas terisi penuh dengan kumpulan buku-buku tebal menambah
berat langkah untuk menuruti ajakan angin, tapi dengan toleransi diri dan juga
suasana sepagi ini kulangkahkan kaki dengan berat menuju warungnya mbok Tua,
angin terus mendorong langkah agak ringan terasa tubuh tersenggol-senggol oleh
ajakan angin.
Resensi Buku : Perempuan Keumala "Sebuah Epos untuk Nanggroe"
Siapa yang tak kenal dengan Kartini? Atau Cut
Nyak Dien atau Dewi sartika. Semua kenal dengan sosok pahlawan perempuan yang memperjuangkan emansipasi
wanita baik lewat karya ataupun perjuangan nyata tersebut. Tapi kenalkah anda
dengan sosok pahlawan perempuan dari daratan Nanggroe yang memimpin pasukan
janda sebagai pasukan tempur melawan belanda yang di kepalai oleh Cornelis De
Houtman yang akhirnya terbunuh oleh sosok laksamana laut pertama di dunia yaitu
perempuan yang bernama Keumala Hayati.
Dalam Novel karya Endang Moerdopo kelahiran
Jawa seorang Jogja tulen yang berjudul Perempuan Keumala “Sebuah epos untuk
nanggroe” yang di susun selama dua tahun. Penulis ini juga sempat menjabat Kepala Pengembangan
dan Evaluasi Pusat Pembelajaran Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR).
Awal mula diceritakan sosok remaja
keumalahayati yang belajar di pendidikan militer di kutaraja. Bersama kawanannya
kuemalahayati melewati suka dan duka di masa mudanya. Hingga bertemu dengan
jodohnya yaitu Tuanku Mahmudin kakak tingkat di kelas pendidikan militer.
Mahmudin saat itu sebagai panglima laot selat malaka yang juga sudah menjadi
suami Keumala.
Dengan pasukannya Mahmudin berperang
bersama melawan Portugis
di Laut Haru, Selat Malaka tak digambarkan detail. Tapi disitulah kisah hidup
Keumala direkatkan pada jalan perang. Tuanku Mahmuddin shyahid meninggal saat membela
Sultan. Keumalapun menjadi
seorang janda. Seketika
itu Sultan membebaskan Keumala dari duka, dia dinobatkan untuk mengganti
suaminya sebagai Panglima Laot Selat Malaka karena menurut sultan tidak ada orang yang bisa di percaya lagi olehnya
dalam kerajaan. Rasa iri
muncul dari petinggi istana lainnya. Lalu kisah diceritakan sebagai konflik
dalam kerajaan untuk
merebut simpati sultan.
Hari-Haru Berlalu
Hari-haru telah berlalu, semerbak wangi
kebahagiaan sudah mulai tercium oleh irama dan nada batin yang kemarin hari
bergejolak. Antara takut melawan naluri atau takut melawan nurani. Untuk saat
ini aku mohon maaf atas pilihan yang telah menyudutkan naluri, yang kemarin
hari naluri telah begitu jauh melangkah ke peradaban yang begitu mulia, hingga
sampai akhirnya kutinggalkan semua, berharap ini memang pilihan yang terbaik
untuk naluri ataupun nurani. Tak banyak omongan yang ingin kusampaikan pada kali
ini, mungkin hanya sebait kata pedas yang akan melukai hati naluri yang dulunya
masih ku pertahankan untuk mencari sebuah ketepatan hingga akhir kutemukan,
tidak ada yang bisa tepat jika naluri di sandingkan dengan hati yang kian hari
kian merajuk untuk segera pergi.
Aku lelah,
rasa itu pun semakin dalam saat tau naluri masih berusaha mencari posisi di
cela hati yang paling dalam. Aku hanya takut semua tak akan jadi total. Saat aku
bersatu dengan naluri saat aku mengesampingkan nurani, aku tak mau lagi
kejadian di lampau hari menyakiti sosok naluri lebih dalam lagi. Semua butuh
kepastian semua butuh kejelasan. Semua menuntut dan mengutuk apa yang ku
perbuat selama ini adalah salah, hanya persepsiku yang kian kukuh tapi lama
kelamaan kurasakan kikuk. Aku bosan bertahan dengan kepalsuan, yang itu juga
kurasakan sakit yang terlalu dalam, sampai batin saja sempat mati hanya
gara-gara kepalsuan. Dulu pun pernah ku tegaskan aku tak bisa. Tapi masih
naluri meronta-ronta ingin dipaksa mengakui. Aku sempatkan hariku-haruku berlalu
dengan naluri namun yang ada hanya kesemuan yang selama ini kubicarakan.
Aku tak pernah berbohong, aku juga tak pernah
mengelak, yang terjadi hanyalah ketidak sengajaan karena mengikuti naluri. Hingga
lama sekali nurani kutinggalkan, memang terasa degub-degub jantung yang kian
hari kian keras berdentum. Namun bukan itu yang diharapkan. Degub jantung yang
berarti nafsu hanya akan bertahan sementara. Aku tak mau semua juga terbuang
percuma. Aku rela di benci hanya untuk kembali kepada esensi dan makna yang
terjalin selama ini. Bukan kepalsuan, bukan kebinalan, bukan juga kebengisanku.
Maaf jika ini memang terlalu sakit untuk kau dengarkan tapi percayalah semua tak bisa di paksakan, hanya
nurani yang bisa memilih kapan, dimana, siapa, apa, mengapa. Semua pertanyaanmu
akan ku jawab dengan senyum. Aku mulai dengan hidup normal saat semua sudah
mulai sadar akan arti sebuah ketidaknyamanan.
Bangkalan, 19 Mei 2014
FANATIK WEEK 2014 : "SAVE OUR CULTURE"
FANATIK WEEK 2014 : "SAVE OUR CULTURE"
Minggu-Senin, 01-02 Juni 2014
Gedung Cakra Universita Trunojoyo Madura
-LOMBA FOTOGRAFI
-LOMBA JURNALISTIK
-PAMERAN FOTOGRAFI DAN SASTRA
Dimeriahkan oleh :
- Pementasan Teater komunitas Desah
- Pentas musik akustik
- Basar Kewirausahaan
Universitas Trunojoyo Madura
twitter : @LPM FANATIK
FB : Warta Fanatik
Web : http://fanatik-zone.blogspot.com/
Email : ukmffanatik@gmail.com
CP :
Laras Co.Fotografi (081913503366)
Fatin Co.Jurnalistik (087849300073)
Yusron Co. Pameran (087750142722)
Stan LPM FANATIK pertigaan GSC Universitas Trunojoyo Madura
Minggu-Senin, 01-02 Juni 2014
Gedung Cakra Universita Trunojoyo Madura
-LOMBA FOTOGRAFI
-LOMBA JURNALISTIK
-PAMERAN FOTOGRAFI DAN SASTRA
Dimeriahkan oleh :
- Pementasan Teater komunitas Desah
- Pentas musik akustik
- Basar Kewirausahaan
Universitas Trunojoyo Madura
twitter : @LPM FANATIK
FB : Warta Fanatik
Web : http://fanatik-zone.blogspot.com/
Email : ukmffanatik@gmail.com
CP :
Laras Co.Fotografi (081913503366)
Fatin Co.Jurnalistik (087849300073)
Yusron Co. Pameran (087750142722)
Stan LPM FANATIK pertigaan GSC Universitas Trunojoyo Madura
Tulus Mampus Membias
Lelah berwarna, Lelah itu ibarat kata sesal
Begitu sesal, saat semua menjadi bebal
Tak kunjung usai ironi-ironi melantun
Melantunkan kata, bermakna kias namun itu pasti
Suatu kepastian yang benar-benar semu
Kusam kurasakan derap benderang hati
Dirasa semua sudah pasti
Tapi ternyata semua hanya bias tanpa arti
Kulumat dalam histori, hirarki, hingga naluri
Semua tenggelam dengan bias arti
Berkilat-kilat cahaya mengurangi beban diri
Kembali tak sadarkan diri
Kembali koreksi diri
Kembali pula semua bersama bias arti
Ku bias, kau bias, semua bias
Tak adakah yang tak bias
Kembali semua memakan rakus
Semu tulus, sekarang dia pun mampus
Begitu sesal, saat semua menjadi bebal
Tak kunjung usai ironi-ironi melantun
Melantunkan kata, bermakna kias namun itu pasti
Suatu kepastian yang benar-benar semu
Kusam kurasakan derap benderang hati
Dirasa semua sudah pasti
Tapi ternyata semua hanya bias tanpa arti
Kulumat dalam histori, hirarki, hingga naluri
Semua tenggelam dengan bias arti
Berkilat-kilat cahaya mengurangi beban diri
Kembali tak sadarkan diri
Kembali koreksi diri
Kembali pula semua bersama bias arti
Ku bias, kau bias, semua bias
Tak adakah yang tak bias
Kembali semua memakan rakus
Semu tulus, sekarang dia pun mampus
Madura, 16 Mei 2014