Posted by : Hery Amariansyah Friday, 23 May 2014

Sekitar dua minggu yang lalu, muka masih kummel dengan bercak garis-garis bekas tidur di atas tikar lusuh bekas. Mata masih merah padam, kelopak mata tak lagi mampu menyembunyikan amarahnya. Terbangun dengan jam weaker yang bordering.
                “krriiiiinnnngggg….. kkkiiirrrrrriingggg …  kkreeekkk” suara diakhiri dengan bantingan jam ke dinding.
Menoleh kedalam lemari terlihat tumpukan buku yang tadinya rapi, seperti tergoncang karena pagi ini ia melihat buku yang tadinya tertata rapi malah di pagi ini porak-poranda seperti habis di hantam badai. Di ulasnya lagi kejadian yang kemungkinan bisa menjelaskan kejadian di pagi hari ini.
****

                “kenapa kau masih bisa bercuap-cuap seperti teko pemanas saat asap keluar dari mulutnya?” pertanyaan keluar sambil lidahnya masih terlipat.
                “ah, mungkin dia memang memiliki hak lebih untuk bercuap-cuap sesuka hatinya!” berontak batin.
                “ya mana mungkin kamu boleh bercuap-cuap sesuka hatimu dik? Apa kamu tak tahu posisi kamu sekarang hanya sebagai penganut, yang harus menganut dengan yang lebih tua dan lebih punya derajat dari pada kamu” penjelasan siang tadi semakin membuat otaknya carut-marut.
                “masalah aturan, norma, dan agama. Kau tak akan bisa menyangkal hal tersebut dengan realitas yang ada. Bahwa memang kau berada di bawah dan hanya menjadi penganut dan menghambakan diri sebagai penjilat untuk memiliki nilai lebih kepada atasanmu” masuk lagi ke fikiran kenapa adanya norma dan aturan yang berlaku saat ini.
                “aku paham dengan situasi yang seperti ini, tapi kenapa ini terjadi berlarut-larut dan seolah sudah menjadi budidaya pembodohan moral, saat atasan menghakimi kau harus bla… blaa. Blllaaa… ya kamu harus mengikuti tanpa adanya perlawanan semisal adanya ketidak cocokan masalah. Ini adalah semacam pengkerdilan mental, moral, dan ini adalah pembinasaan pendewasaan” penolakan telak setelah berfikir lama.
Lama terdiam dalam fikiran akhirnya dia memutuskan untuk berontak tapi hanya dalam hati. Dia berteriak kencang tapi dalam hati. Karena dia merasa sendiri dengan dunia di sekitarnya, apa yang dia fikirkan di rasa tidaklah sama dengan mereka. Yang pasti batinnya saat ini lebih terguncang dari hari kemarin.
                “mungkin ini yang di harapkan dari suatu kisah yang itu tak akan ada habisnya jika hanya mengira-ngira, yang tidak pasti itu yang sebenarnya menggoyahkan kekuatan kepercayaanmu, mengkerdilkan nalurimu, menjadi sosok momok yang setiap saat menguntit dari belakang rongga-rongga ketegaran fikir” kata-kata yang keluar dari mulutnya seperti tanpa arah.
                “tapi kembali lagi dik! Itu urusan pribadimu mau jadi cecunguk atau seorang pemberontak dalam artian benar, jangan dalam artian kebenaranmu sendiri” serasa mau pecah kepala memikirkan solusi untuk berontak atau menghambakan diri.
Kepalanya pening lalu dilampiaskannya kepada buku-buku yang tertata rapi di dalam lemari. Kembali dia membaca seluruh buku dalam satu malam penuh hingga ia tak sadarkan diri, hanya buku yang mampu membuatnya lupa akan ke egoisan diri, hanya buku yang bisa membuatnya lelah untuk berfikir, hanya buku yang bisa membuatnya kembali layaknya manusia normal. Sekarang dia tersadar dan mulai menyusun buku-buku yang tadinya berantakan untuk kembali di porak-porandakkan saat kesal pada dirinya sendiri.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Berlangganan Sinyal FX?

JustForex

Followers

Popular Post

- Copyright &SHIE; artorlife -Diberdayakan- Powered by Blogger - Designed by SHIE -