- Back to Home »
- Resensi Buku »
- Resensi Buku : Gadis Pantai
Posted by : Hery Amariansyah
Friday, 23 May 2014
“Mengerikan bapak, mengerikan kehidupan priyayi ini,
seganas-ganas laut, dia lebih pemurah dari hati priyayi. Ah tidak, aku tak suka
pada priyayi. Gedung-gedungnya yang beridinding batu itu neraka. Neraka. Neraka
tanpa perasaan”
-
Pramoedya Ananta toer
Gadis
Pantai sebuah roman yang tidak selesai. Roman ini merupakan trilogy yang tidak akan pernah selesai.
Karena
buku lanjutan Gadis Pantai raib ditelan keganasan kuasa. Ditulis oleh
Pramoedya Ananta Toer, terakhir terbit pada September 2011 oleh penenerbit
Lentera Dipantara, Jakarta Timur. Roman ini menceritakan kisah seorang gadis
belia yang masih dibawah umur. Ia berasal dari keluarga nelayan dan kampung
yang biasa ia sebut sebagai “kampung nelayan” sepenggal pantai keresidenan
Jepara Rembang. Gadis Pantai merupakan bunga kampung yang cantik, lugu, dan
cerdas. Paras cantik itulah yang menarik hati seorang pembesar atau priyayi pada masa itu,
seorang “Bendoro” yang hendak menjadikannya sebagai istri percobaan atau biasa disebut
“Mas Nganten” nya. Pada tahun pertama pernikahannya dengan Bendoro, ia sudah
mulai terbiasa dengan segala aktifitasnya dirumah megah itu, dengan bantuan
“bujang tua” seorang pembantu yang senantiasa menjaga dan membantunya sudah
dianggapnya seperti sahabat. Sampai suatu ketika bujang tua harus rela
meninggalkan Gadis Pantai sendiri karena ia diusir oleh Bendoro atas
perilakunya yang berani menggugat “Agus-agus” sebutan dari anak laki-laki
keturunan Bendoro yang juga tinggal dirumah Bendoro meskipun memang
salah satu diantara Agus itu terbukti bersalah telah mengambil uang Gadis
Pantai.
Sepeninggal
bujang tua itu, datang seorang utusan dari Demak bernama Mardinah yang akan menggantikan
posisi si bujang tua. Kedatangannya tidak malah mengembalikan keceriaan Gadis
Pantai. Kedatangan Mardinah malah mengancam keselamatan Gadis Pantai, Mardinah
diutus untuk membunuh Gadis Pantai karena iming-iming akan dijadikan isteri
kelima dari Bendoronya yang ada di Demak. Namun, usaha Mardinah gagal oleh
warga kampung nelayan yang turut menjaga Gadis Pantai selama ia menengok orang
tuanya di kampung. Beberapa hari setelah kepulangannya dari kampung nelayan ke
rumah Bendoro, Gadis Pantai menyadari bahwa dirinya telah mengandung anak
pertamanya dengan Bendoro. Dijaganya sang jabang bayi hingga sampai pada waktu
ia harus melahirkan bayinya, seorang bayi perempuan. Tiga bulan usia bayi si Gadis
Pantai. Namun, tak didapatinya juga kebahagiaan layaknya sebuah keluarga yang
harmonis setelah dikaruniai seorang anak. Akan tetapi, kekuasaan Bendoro yang
selama ini ia cintai mampu memisahkan Gadis Pantai dengan bayi perempuannya. Gadis
Pantai diceraikan dan dikembalikan pada orang tuanya. Perasaan kalut segera menyelimuti Gadis
Pantai apakah ia kembali kepada orang tuanya ataukah ia memilih untuk tetap
tinggal di tempat yang tidak jauh dari anaknya hanya untuk sekedar mengawasi
buah hatinya tumbuh dewasa. Sampai suatu ketika ia memutuskan untuk tidak
kembali kepada orang tuanya, ia memutuskan untuk pergi mencari bujang tua
seorang sahabatnya dulu. Dengan perasaan campur aduk ia memutuskan untuk
tidak kembali lagi ke kampung halamannya “kampung nelayan”.
§ Kelebihan buku ini adalah memberikan gambaran tentang
kehidupan atau adat kejawen yang mungkin saat ini tidak banyak diketahui oleh masyarakat.
Beberapa istilah jawa yang tidak dapat di mengerti juga di berikan penjelasan
pada foot note.
§ Kekurangan
dari buku ini adalah ending cerita pada buku ini tidak jelas mengenai
kelanjutan hidup dari bekas seorang Mas Nganten Bendoro (gundik seorang
pembesar).
*Anis_Vika_M
sumber : http://fanatik-zone.blogspot.com/2014/05/resensi-buku-gadis-pantai.html#more
sumber : http://fanatik-zone.blogspot.com/2014/05/resensi-buku-gadis-pantai.html#more