Posted by : Hery Amariansyah Tuesday 20 May 2014

                Dulu sekali waktu aku masih sekolah di salah satu SMA favorit di daerahku, aku rasa hanya ada perasaan beruntung bisa masuk di sekolah favorit ini. Tiap hari-hariku kulalui dengan santai dan tenang layaknya pelajar SMA pada jamannya, yang masih berfikiran bahwasanya di SMA adalah masa dimana siswa seperti aku ini harus pandai dalam segala hal, mulai dari pelajaran, bersosial, hingga mengatasi masalah perkelaminan. Yang dari dulu aku gak pernah bisa paham kenapa ada teori semacam itu dalam masa menuju sebuah pendewasaan diri, dan pikiran semacam itu seringkali mengganggu kinerja otak dan batin, kadang sampai menciptakan kemalasan untuk belajar hingga berlarut-larut.
                Ya, mungkin saat itulah aku mulai terlena dengan kondisi sosial yang menuntut diriku supaya tidak sadar. Baru berasa jika efeknya begitu besar, aku terlampau bebas saat remaja. Hingga tak mampu mengontrol diri, semua yang kulakukan cenderung negative, semua yang terlintas di benakku adalah kesenangan. Gak peduli apa ada yang nangis saat aku senang apa ada yang memelas saat aku bahagia. Saat itu bangku masih terlihat kosong tak ada sebatang tubuh pun yang Nampak dalam kelas. Angin di pagi ini menyenggol-nyenggol seolah mulai menggoda untuk mengajakku ngopi di warung Depan SMA, dengan tas terisi penuh dengan kumpulan buku-buku tebal menambah berat langkah untuk menuruti ajakan angin, tapi dengan toleransi diri dan juga suasana sepagi ini kulangkahkan kaki dengan berat menuju warungnya mbok Tua, angin terus mendorong langkah agak ringan terasa tubuh tersenggol-senggol oleh ajakan angin.

                Mbok Tua, ya memang dia sudah tua makanya dipanggil mbok Tua, sosok yang humoris namun masih saja Tua dan memang di tuakan  oleh para pelajar di sekitar lingkungan warungnya. Biasanya para pelajar pun menghabiskan waktu dengan mengopi di warung mbok Tua ini, sampai sekarang aku tak tahu nama asli seorang mbok Tua yang hamper setiap hari jadi pelayan kopi para pelajar termasuk aku. Dengan wajah agak reot tapi masih sumringah dia selalu menawarkan segelas kopi hitam saat aku mampir ke warungnya.
                “le, pesan apa? Kopi hitam manis atau kopi hitam agak pahit” Tanya mbok.
Memang kadang aku suka pesan kopi yang agak pahit atau kopi yang manis, tergantung mood juga. Untuk saat ini aku sedang dilanda rasa senang dan ingin pesansecangkir kopi manis untuk menambah manis pagi yang cerah ini.
                “kopi hitam mbok tapi yang manis jangan pahit” sahutku semangat.
                “lagi senang yo? kayaknya kok dari tadi sumringah banget muka mu le ?” pandangnya memicing.
“ndak juga mbok, biasa aja” menaruh tas yang sedari tadi menempel di punggunggku. Duduk santai dengan memandang jalan depan sekolah banyak orang mulai berlalu lalang. Mbok masuk kedalam mulai membuatkanku kopi. Sekejap sudah kopiku sudah kelar siap untuk dinikmati.
                “ini le kopinya khusus hari ini kopinya kopi luwak le bukan kopi yang biasanya” menyelehkan kopi diatas meja didepanku.
                “lah kopi luwak beneran toh mbok?” jawabku curiga. Masalahnya selama ini kopi luwak masih mahal di pasaran kok bisa sampai-sampai si mbok menyuguhkan kopi luwak di pagi yang memang harus ikut ceria bersamaku.
                “iya le ini kopi luwak, baru kemaren dapet dari wonosalam tempat anakku yang punya lahan kopi di sana” sambil menunjuk arah selatan letak daerah wonosalam.
                “loh mbok juga punya anak toh di wonosalam?” tanyaku heran. Karena si mbok ini setahuku Cuma punya satu anak gadis dan satu anak jejaka.
                “iya le, di sana mbok punya anak angkat. yang dulu, sebelum mbok punya dua anak, mbok dikasih orang amanah untuk merawat anak, dan sekarang dia sudah nikah mempunyai satu orang anak” mengibas-ngibas kemoceng lalu duduk disebelahku. “mbok dulu ingin sekali punya anak hingga hamper 10 tahunan setelah mbok menikah dengan si mbah, mbok masih belum di karunia I anak nah setelah mbok di kasih anak sama seseorang mbok baru di karunia I anak mbak denok kemudian mas jaka” jelasnya.
                “ow gitu to mbok ceritanya, tak kirain mbok Cuma punya anak mbak denok sama mas jaka aja” jawabku sambil menyeruput kopi hitam yang mulai dingin.
Tak terasa aku banyak mengobrol dengan si mbok dan akhirnya waktu mempertemukanku dengan suara denting bel sekolah pertanda sekolah akan segera masuk.
****
Hari berlanjut hingga hari tak terasa sudah semakin terik, seusai pulang sekolah aku biasa mampir ke warnet di sebelah desaku. Untuk sekedar browsing mencari apa saja yang perlu dan kadang kuluangkan waktu juga untuk bermain game online sampai berjam-jam. Hal itu berlangsung dengan berlarut-larut hingga sampai di kelas 3 SMA. Kebiasaan foya-foya telah banyak menyita kesadaranku tentang pentingnya belajar, hingga pada saat persiapan menjelang UN aku pun kelabakan kesana kemari untuk sekedar menampung berbagai macam ilmu.
                UN pun tiba saat dimana aku mulai serius dalam sekolah, saat yang menentukan aku lulus lanjut ke perguruan tinggi atau aku tinggal di kelas yang sama satu tahun kedepan. Masih untung soal-soal ujian nasional tidak se-ngeri yang dibayangkan selama ini. Hingga tiba saat pengumuman kelulusan. Hati dan pikiran masih tetep kacau dengan usahaku yang pas-pasan waktu persiapan menghadapi UN. Waktu itu pengumuman tidak langsung di beritahukan siapa yang lulus dan siapa yang tidak. Pihak sekolah punya kebijakan lain, siapa yang tidak lulus maka pihak sekolah akan mendatangi rumahnya. Dengan hati was-was aku memandang keluar rumah sepanjang hari. Tidak Nampak guru atau petugas penyampai surat ketidak lulusan. Sampai menjelang magrib tidak ada tanda-tanda surat mengerikan itu datang.
                “Aku luluskah?” berkali-kali pertanyaan itu ku utarakan pada diriku sendiri, menanggapi banyak sms yang masuk dalam HP jadul yang berkali-kali berdenting.
“Hey kamu luluskah? Gimana lulus? Ada yang nyamperin rumahmu nggak? Aku takut aku nggak lulus! Kenapa kamu kok gak bales smsku?” banyak sekali pertanyaan sampai aku males untuk membalasnya bukan lantaran males karena apa, tapi memang nggak punya pulsa buat bales sms dari teman-teman.
Hingga keesokan harinya baru boleh kesekolah untuk melihat hasil UN lulus ataukah tidak. Pagi seolah begitu cepat menyapa mataku yang sedang pedih karena semalaman suntuk menunggu kepastian untukku juga teman-temanku.
Dengan semangat kulajukan kendaraan butut yang setiap saat menemaniku untuk berangkat mengantarkan kemanapun tujuanku. Dijalan kudapati berbagai gerombolan anak SMA lain yang sedang berkonfoi merayakan kelulusannya. Entah mereka lulus atau sekedar ikut nimbrung bersama teman seangkatannya.
Sesampaiku di depan gerbang sekolah. Pandangan mulai menciut mengarah kepada kerumunan siswa yang berdusel-duselan ingin melihat sesuatu lembaran-lembaran yang ditempelkan di papan pengumuman dekat madding sekolah. Langsung aku bergegas segera mencari tahu adakah namaku dalam daftar orang-orang yang lolos sebagai purnawiyata sekolahan tercinta ini.
Pikiran ruwet tak karuan kemana-mana. Ku urut mulai dari angka paling atas sampai akhir sampai ku ulangi beberapa kali. Tidak ku jumpai ada namaku tertera di sana.
“udah ketemu belum?” Tanya paidi.
“ya belum ini, bantuin aku nyari namaku lah! Mungkin aku kurang teliti.” Masih tak percaya dan terus mengelus lembar demi lembar urutan nama.
“okelah, nama ku udah ada dan dapet rangking ya setidaknya aku rangking 122 lah itu sudah keren kan?” menepuk pundakku mencoba memberi semangat.
“ow berarti kamu lolos ya, lah aku gimana ini masih nggak ketemu nama ku ada di sana?” jawabku mulai risau.
“yos santailah kan masih banyak kesempatan lain kalo namamu bener-bener gak ada.” Menggoda amarahku.
“ya kamu gitu masak ada temannya nggak lulus kamu seneng” masih meneliti kolom perkolom.
“hahaha…. Ya bukannya aku seneng, bercanda sedikitlah nggak usah tegang” tawanya mulai lepas kendali.
“aku kok curiga dengan lembar yang pendek ini?” sembari membuka solatip yang menghalangi lembaran yang terlihat memendek.
“noh kan siapa yang kurang ajar melakukan kerjaan seperti ini !” sahutku jengkel.
“ada nggak namamu disitu?” nada mengejek dengan bibir dan alis yang tidak seimbang.
“ada loh noh liat, apa jangan-jangan kamu yang nyembunyiin namaku di ?” tanyaku ketus.
“hahaha …..”
Kurang ajar temanku ini baru saja aku mendapatkan shok terapi, berkeringat dingin. Malahan dia tertawa terbahak-bahak. Ya memang beginilah sosok paidi sebagai teman yang suka mbanyol baik saat aku gelisah atau saat kita memang benar-benar udah mulai gila dengan kebiasaan berfoya-foya setiap harinya.
Perasaan lega setidaknya kini mengisi pikiran yang sempat buntu dengan sendirinya. Setelah melihat ada namaku di daftar kelulusan aku lega dan sedikit ada rasa kesal akibat perbuatan paidi tadi. Sudahlah memang wataknya dia begitu.
                “di, ayo ngopi biar lengkap kebahagian sebagai seorang lulusan baru. Nggak usahlah hura-hura di jalan. Lebih baik kita ke mbok aja ngopi santai sambil bicara masalah kuliah apa kerja.” Ajakku pada paidi yang sedari tadi masih terbahak-bahak melihat wajahku yang geram.
                “yo ayolah, kita ngopi sambil cari cewek yang seliweran di kiri dan di kanan jalan. Kan banyak tuh anak SMEA yang agak pedes-pedes kalo ngeliatnya.” Jelasnya.
                “yo itu masalah gampang tinggal kamunya loh, biasa yang pinter nyepik  kan kamu biasanya sampe-sampe mbok aja kamu sepik apa nggak kurang comber tuh mulut sampe si mbok aja kamu sepik.” Balasku dengan sedikit tertawa kecil.
                “ya perasaanmu aja toh di” panggilan paidi memang panggilan akrab diantara kami.
Hingga sore menjelang petang, dan lalu lalang kendaraan mulai padat merayap. Aku dan gerombolan paidi liar pulang ke sangkar masing-masing dengan berbunga hati telah lolos dari status siswa SMA.
****


Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Berlangganan Sinyal FX?

JustForex

Followers

Popular Post

- Copyright &SHIE; artorlife -Diberdayakan- Powered by Blogger - Designed by SHIE -