- Back to Home »
- catatan kusam , Catatan Menikung »
- Terbunuh Rasa Emanisme dan Sungkanisme
Posted by : Hery Amariansyah
Thursday, 12 June 2014
Kemarin hari setelah rapat untuk membahas laporan kegiatan.
Inspirasi menulis datang lagi dari Irma. Teman yang baru mengenal apa itu arti
sebuah kegalauan di karenakan memiliki perasaan yang berbeda terhadap lawan
jenis yang saat ini dikaguminya. Bermula dari ajakannya untuk mengajakku
bersama Andri. Dari situ juga awal dari bunga-bunga inspirasi. Segera meluncur
ke warung kopi petualang (WKP), tempat yang dekat dengan gang dolly II katanya. Pasalnya banyak kosan
maupun kontrakan mahasiswa/i yang tiap malamnya tiada sepi. Selalu saja ada
yang apel dan mengapeli di depan kosan atau kontrakan sampai larut pagi. Dengan
tanda kutip di dalam kata apel.
Sudahlah itu tadi Cuma pengantar untuk menggambarkan suasana
pada malam itu. Aku memesan secangkir kopi hitam, hingga diskusi mengenai
pembunuhan naluri pun di mulai. aku masih merasakan hawa ketiadaan naluri yang
kemarin hari terhunus oleh janji yang telah di ingkari.
“kenapa aku selalu nggak bisa jauh dari yang namanya cowok
itu? Aku nggak mau segala aktifitasku selalu di bayang-bayangi olehnya.” Irma
mengawali curhatannya.
“emang yang kamu risaukan dari kebayang-bayang dia mulu itu
apaan?” tanyaku selagi menyeruput kopi yang masih panas.
“ya itu tadi, aku kalau mau beraktifitas itu tergantung sama
moodku. Saat aku ada masalah atau apapun sama dia, mesti bakalan ngefek dengan
segala kegiatan yang aku lakuin.” Jelas Irma.
“aku nggak bisa langsung menerka ir, masalahnya dia itu
siapamu? Dan kok bisa kamu berpandangan seperti itu.” Dahiku mengkerut heran.
“itu juga yang membuat selama ini aku galau, karena dia juga
bukan siapa-siapaku. Pacar ya bukan, sahabat bukan, teman juga bukan.” Irma
beringsut membenai duduknya.
“loh kok gitu ir, kamu suka sama dia berarti?” tanyaku
penasaran.
“kalau di bilang suka sih aku juga kurang tau, masalahnya
kayak gimana gitu. Aku nggak bisa kalau nggak tahu kabar dia, atau segala
sesuatu tentang dia.” Matanya mulai terbelalak seperti ingin menegaskan
sesuatu.
“Dia suka nggak sama kamu? Walau pun kelihatannya atau
anggapanmu gimana?” aku pun belum paham maksudnya membelalakkan matanya seperti
itu.
“kalau menurutku sih, dia memang suka kepada aku. Tapi aku
juga gak tau aku harus gimana. Aku itu perempuan. Aku tak mau mengawali. Aku
juga tak mau jika semisal nantinya dia menjauh.” Irma mulai menunjukkan
gerak-gerik kalau memang dia sedang di landa kegalauan karena suka dengan
seorang cowok.
“mungkin, kamu aja yang GR ir. Itu semua masalah persepsimu.
Jika dia memang sering kali memancing dengan sebuah sinyal-sinyal kalau dia
suka sama kamu, apa nggak sekalian kamu tunjukin sinyal balik ke dia?” jawabku
mulai serius.
“sudah pernah, tapi semua kayak biasa-biasa aja.” Tandasnya.
“ya sudah tinggalin saja ir. Kan masih banyak cowok yang
suka sama kamu.” Aku berfikir jika si cowok yang di ceritakan irma hanyalah
sosok pemberi harapan palsu (PHP) kata orang-orang.
“ya nggak bisa gitu her, semua juga butuh perjuangan. Aku
terlanjur menancapkan pendirianku. Bahwa aku harus setia menanti. Walau pun
akhir dari itu sebuah ketidak pastian.” Irma semakin terlihat ambisius.
“aku hanya bisa berdoa ir semoga kau sadar, semua yang ada
di dunia ini adalah suatu sebab-akibat, jika kamu seperti ini sekarang dan kamu
cenderung berantakan dalam segala aktifitasnya. Kamu harusnya sadar. Yang
menyebabkan hal seperti itu seharusnya ditinggalkan, walau pun hal tersebut
sangat susah.” Ku coba menjelaskan apa yang jadi permasalahan Irma.
“tapi nggak bisa, semua yang aku lalukan percuma, dia pun
selalu hadir. Baik itu dalam hal-hal apapun.” Jawab irma ketus.
“kamu coba menghilang, kamu coba untuk tak peduli dengan
dia.” Saranku.
“sudah aku coba, tapi hasilnya ya tetep aja dia hadir lagi.”
Jawabnya.
“dia hadir lagi itu pun karena kehendakmu, entah kamu sungkan ingin meninggalkannya atau kamu eman untuk meninggalkannya?” ku coba
menalar lebih lagi supaya Irma juga bisa menalar sejauh mana dirinya tersesat.
“sungkan dan eman itu biasanya bisa membunuh orang
yang punya rasa eman dan sungkan itu sendiri.” Tambahku.
“semua yang kamu katakan itu juga biasanya aku alami her,
ketika aku pergi, aku sendiri merasa sayang untuk mengiklhaskannya tidak
kembali. Ketika aku pergi juga aku merasa gak enak sama dia. Karena memang pada
dasarnya aku pun gak mau menyakiti dia seumpama aku pergi.” Setelah irma
menjelaskan, dia terdiam.
“apa dia merasakan hal yang sama? Itu belum tentu ir. Kamu
juga lama-kelamaan akan tersakiti dengan sendirinya. Apa pernah dia mikir kamu
sakit pada saat ini, walaupun bukan hanya fisik yang sakit, batinmu pun
berantakan hanya karena sungkanmu dan
emanmu yang dengan perlahan mulai
membunuhmu dengan rasa sakit yang hanya kau rasakan sendiri.” Jelasku
membalikkan pemaknaannya.
“aku seperti orang yang benar-benar linglung. Tak bisa
dengan sehat aku mikir kayak ginian.” Irma mulai mendongakkan kepalanya seraya
berharap.
“aku pun pernah merasakan hal demikian. Hanya karena emanisme dan hanya karena sungkanisme bisa mengacaukan segala yang
telah kuperbuat. Mulai sekarang aku tak tahu lagi apa kau masih mendengar
kata-kata batin yang terus menyiksamu, atau kau akan mulai meninggalkan hal itu
untuk sesuatu yang baru. Jika, emanisme
dan sungkanisme membunuhmu. Mengapa
tidak kamu coba kau balik emanisme
dan sungkanisme itu kau bunuh. Bukan
berarti ini saran terbaik untukmu. Tapi, setidaknya aku memberikan masukan yang
selama ini juga ku lakukan dan setidaknya berhasil.” Aku mencoba memberikan
semangat irma.
“terimakasih ya her, karena memang sebenarnya hal-hal yang tak
bisa kau logikakan pasti suatu saat nanti akan bisa terlogikakan dengan
sendirinya. Aku akan mencoba menjemput bola seumpama harapan adalah bola. Bukan
lagi menantinya. seumpama bola tak lagi ada dalam giringanku maka setidaknya
aku pernah mencoba untuk menjaganya agar tetap ada dalam kontrolku.” Irma
mengakhiri percakapan dengan hati yang lega.
Setidaknya malam ini semua yang pernah kulakukan, dan semua
yang menjadi pengalaman telah membuat sedikit pelajaran hidup. Bahwa tidak
selamanya sungkan dan eman menjadi budaya yang baik. Sungkan dan eman bisa juga membunuhmu dalam hal perasaan.
*Sungkan adalah
rasa tidak enak akan sesuatu hal yang biasanya dihormati.
*Eman adalah kata
lain dari sayang untuk ditinggalkan.