Damai Sejak Dalam Pikiran
Mengalir bertahap bagaikan sebuah buih yang berkumpul menjadi
satu di dalam aliran sungai yang mengalir jauh. Tak pernah dipikirkan kenapa
awalnya hal itu berbuih. Hanya yang terlintas sekarang buih sudah mengalir di
sela-sela gelanggang sungai. Buih tercipta jauh sebelum buih meluncur deras
berbarengan dengan kumpulan buih yang
lain. Lembut buih bagaikan lembut hembusan nafas surgawi. Melesak jauh menuju
awang-awang terhempas lepas jatuh ke bumi menjadi titik-titik air bagai seribu
gagak yang ingin segera menerkam. Lalu buih yang telah menjadi air tentu akan
membasahi dataran padat dan kehidupan yang kering menyanyikan lantunan sangat
nyaring. Desingan buih itu membangunkan mawar yang telah lama tidak merekah.
Serta membasahi seluruh kawula yang ada di sekitar mawar bunga damai tanda
cinta.
Berangsur merekah bunga mawar
menjadi semakin indah di pandang. Lebah, kumbang, serta kepik pun tergoda untuk
hinggap di dahannya. Semua berkat berkah dari turunnya buih kemarin hari.
Jangan pernah melupakan makna dari sebuah tragedi walau pun hanya sekedar
memaknai dengan hikmat dan penuh penalaran. Bukankah semua buih berasal dari
air yang berada di dataran ini. Bukankah sama saja dengan angin yang
lalu-lalang mengitari bumi. Semua tetap sama pada pemaknaan mengenai
asal-muasalnya. Tergantung bagaimana cara kau menilik dari berbagai sudut.
Memanglah benar mawar bukan hal yang paling indah. Tapi bayangkan jika tidak
ada proses air menjadi buih. Apakah mawar akan seindah pada saat ini. Jelaskan
bagaimana bisa mawar berdiri dengan eloknya sehingga merekahlah kelopak bunga
yang menghiasinya.
Agen Propaganda : Penyuluhan Pengembangan potensi Kewirausahaan bagi Penghuni PP. DARUS SALAM TORJUN, SAMPANG, MADURA.
Monday, 23 June 2014
Posted by Hery Amariansyah
Bebal Merasuki Jiwa
Bukan sok jadi orang pintar.
Tapi memang itu yang diinginkan.
Kalo tidak seperti itu semua akan terbunuh.
Akan mati dengan sendirinya.
Bersama gugur meratapi kepedihan.
Saling sikut menjadi kebiasaan.
Yang kalah beringsut.
Yang menang tambah Kusut.
Apapun yang menjejali semakin sesak kau hela.
Kesesakkan yang sudah terlanjur.
Hanya saja di biarkan menggantung.
Harapan yang di junjung tinggi.
Sudah lama usang di makan kebebalan.
Saling terkam menjadi kebiasaan.
Menjejakkan langkah awal.
Berarti harus Mengakhiri.
Sampai saat ini biar jadi sok.
Tapi lebuh bebal dari sebelumnya.
Karena tertindas, tergilas bersama temaram muram.
Tapi memang itu yang diinginkan.
Kalo tidak seperti itu semua akan terbunuh.
Akan mati dengan sendirinya.
Bersama gugur meratapi kepedihan.
Saling sikut menjadi kebiasaan.
Yang kalah beringsut.
Yang menang tambah Kusut.
Apapun yang menjejali semakin sesak kau hela.
Kesesakkan yang sudah terlanjur.
Hanya saja di biarkan menggantung.
Harapan yang di junjung tinggi.
Sudah lama usang di makan kebebalan.
Saling terkam menjadi kebiasaan.
Menjejakkan langkah awal.
Berarti harus Mengakhiri.
Sampai saat ini biar jadi sok.
Tapi lebuh bebal dari sebelumnya.
Karena tertindas, tergilas bersama temaram muram.
23 Juni 2014
Hari Ini Lucu
Lucu, bangun di pagi hari. Sadarku. Ternyata mentari
sudah seperempat cakrawala. Setelah pulang ke rumah dari pulau garam, ku
rasakan kerinduan yang mendalam kepada seluruh suasana di desa tempat
tinggalku. Banyak cerita yang terlewatkan, banyak kisah yang terjadi tanpa
sepengetahuan. Tapi memang sekelabat kudengar berbagai kabar yang sedikit
menghibur hati setelah banyaknya tuntutan tugas saat berkuliah di pulau garam
yang sekarang mulai beralih julukan sebagai pulau perantau. Bukan karena ini
tempat orang-orang merantau. Tapi, ini pulau penghuni aslinya banyak yang
merantau ke berbagai belahan pulau lainnya.
Malam sabtu, aku baru sampai rumah membawa nasi
goreng hangat sehabis beli di pojokan terminal lama. Dengan muka yang kusut,
aku pulang dan kulihat ayah pada waktu itu sedang asik teriak-teriak dan masih
melihat pertandingan bola di layar kaca, serasa di cuekin, walau pun
berkali-kali aku seliweran dibelakangnya. Aku mulai membuka percakapan dengan
ayah yang masih sibuk dengan bola sedangkan aku sibuk menyuap nasi goreng ke
mulutku sendiri selagi masih hangat. “adik kemarin ulang tahun?” tanyaku. “loh
iya kah? emang sekarang tanggal berapa?” langsung membalikkan tubuh pecah
konsentrasinya dari bola. “iya toh yah, wong kemarin itu tanggal 19 Juni adik
kan ulang tahun!” tegasku. “loh iya, kasian dia ulang tahunnya terlupakan,”
dengan membolak-balik kalender. “kamu beli nasi goreng di mana? Bentar tak bangunin
adekmu, kamu beli nasi goreng lagi gih.” Seru ayahku mulai memasuki kamar
adekku yang penuh dengan coretan dinding. Aku pun lekas beli lagi nasi goreng
di pojok terminal lama. Setelah selesai membeli nasi goreng. Kujumpai adekku
sudah di depan tv sama ayah teriak-teriak mendukung tim kesayangannya masing-masing.
Kusodorkan nasi goreng “tuh nasi goreng, makan selagi hangat. Dan selamat ulang
tahun.” Ucapku. Malam semakin larut pagi. Tiba-tiba mamaku terbangun dan
menghampiriku, “kok malem pulangnya? Sendirian kah?” tanyanya dengan setengah
suntuk. “iya ma, masih ada urusan tadi, aku sendirian nggak ada teman.” Jawabku dengan santai memandang mama yang
sudah selonjoran tak kuat menahan kantuknya.
kegalaun gue....*
mungkin ini baru pertama posting gue yg memang berbau galau..
baru pertama gue curhat di blog gue sendiri..
hay teman.semenjak dolly disurabaya dituutp,gue kebingungan..
dapat drimana uang saku gue kalau bukan dri dolly.
5 tahun aku bekerja sebagai homoseksual disitu.
untuk uang makan
biaya kuliah
uang jajan
kosan
semua tergantung dri pendapatan gue jadi homosek
tpi sekerang ?
tempat yg buat gue nyaman
tempat gue magang
tempat gue melampiaskan hawa nafsu
telah ditutup...
apa daya diriku seorg
aku berdemo.
aku mmperjuangkan
bersama kawan kawan
menghadap aparat aparat yg berwenang.
tp semua itu sia sia kawan
bagai seekor semut yg terinjak injak oleh gajah gajah pemerintah
kawan..terus aku kudu piyeee,,
piye perasaanmu JUMMM..
PIYEEEE...
baru pertama gue curhat di blog gue sendiri..
hay teman.semenjak dolly disurabaya dituutp,gue kebingungan..
dapat drimana uang saku gue kalau bukan dri dolly.
5 tahun aku bekerja sebagai homoseksual disitu.
untuk uang makan
biaya kuliah
uang jajan
kosan
semua tergantung dri pendapatan gue jadi homosek
tpi sekerang ?
tempat yg buat gue nyaman
tempat gue magang
tempat gue melampiaskan hawa nafsu
telah ditutup...
apa daya diriku seorg
aku berdemo.
aku mmperjuangkan
bersama kawan kawan
menghadap aparat aparat yg berwenang.
tp semua itu sia sia kawan
bagai seekor semut yg terinjak injak oleh gajah gajah pemerintah
kawan..terus aku kudu piyeee,,
piye perasaanmu JUMMM..
PIYEEEE...
*) penulis dari blog seberang bigbogbag.blogspot.com
Bicara Hati
Bukan lagi biacara hati.
Dulu sekali, pernah terkoyak kuasa tirani.
Dicabik, dengan mata lapar merah padam.
Dirobek, dengan belati tajam.
Mereka semua sudah mati.
Apa kabar kau, wahai tirani.
Bukankah seharusnya kau mengayomi.
Memang segala benar kuasa.
Kuasa, membutakan segala.
Kuasa, menistakan nelangsa.
Ingat, nuranimu takkan berhenti berteriak.
Hai kau pengumpat.
Memecah gendang hati.
Hingga suara tak lagi menjadi nadi.
Karena mati dibunuh tirani.
Dulu sekali, pernah terkoyak kuasa tirani.
Dicabik, dengan mata lapar merah padam.
Dirobek, dengan belati tajam.
Mereka semua sudah mati.
Apa kabar kau, wahai tirani.
Bukankah seharusnya kau mengayomi.
Memang segala benar kuasa.
Kuasa, membutakan segala.
Kuasa, menistakan nelangsa.
Ingat, nuranimu takkan berhenti berteriak.
Hai kau pengumpat.
Memecah gendang hati.
Hingga suara tak lagi menjadi nadi.
Karena mati dibunuh tirani.
Bangkalan, 20 Juni 2014
Lupakan
Lupakan, semua tentang ambisimu.
Lupakan, semua tentang aroganmu.
Jika masa lalu masih menghampiri.
menghasut, merayu, memanjakanmu.
Melangkahpun berat kau tapaki.
Lupakan, semua kisah tentang naluri.
Lupakan, semua telah menjati diri.
Terlampau pagi, semua sudah di jauh hari.
Bukan, materi yang mengambil alih.
Tinggal memaknai apa yang akan terjadi.
Jangan, kau lupakan esensi.
Karena esensi juga memiliki arti.
Mulai, tinggalkan catatan tentang kami.
Mulai, Lupakan kenangan abadi.
Lelah diujung hari, esok tak lagi menanti.
Bukan lagi kau yang dulu.
Ambisi laparmu, wahai presiden yang baru.
Lupakan, semua tentang aroganmu.
Jika masa lalu masih menghampiri.
menghasut, merayu, memanjakanmu.
Melangkahpun berat kau tapaki.
Lupakan, semua kisah tentang naluri.
Lupakan, semua telah menjati diri.
Terlampau pagi, semua sudah di jauh hari.
Bukan, materi yang mengambil alih.
Tinggal memaknai apa yang akan terjadi.
Jangan, kau lupakan esensi.
Karena esensi juga memiliki arti.
Mulai, tinggalkan catatan tentang kami.
Mulai, Lupakan kenangan abadi.
Lelah diujung hari, esok tak lagi menanti.
Bukan lagi kau yang dulu.
Ambisi laparmu, wahai presiden yang baru.
Bangkalan, 20 Juni 2014
Binar Tak Terganti
Tudung-tudung siap mengayomi.
Apapun kabar tersaji dengan nikmat.
Apa itu binar, semua terasa lezat.
Dahaganya akan segera terobati.
Lama, lambat laun melunglai.
Lagi bersenandung dengan hikmat.
Dibutakan dengan binar anarki khianat.
Keberutalan ditamengi momok kepedihan.
Keculasan semakin membiaskan bualan.
Selamanya akan membekas di sanubari.
Dikenang hingga esok anak cucumu menanti.
Sampai masa tua menjemput diri.
Kau takkan pernah terganti.
Apapun kabar tersaji dengan nikmat.
Apa itu binar, semua terasa lezat.
Dahaganya akan segera terobati.
Lama, lambat laun melunglai.
Lagi bersenandung dengan hikmat.
Dibutakan dengan binar anarki khianat.
Keberutalan ditamengi momok kepedihan.
Keculasan semakin membiaskan bualan.
Selamanya akan membekas di sanubari.
Dikenang hingga esok anak cucumu menanti.
Sampai masa tua menjemput diri.
Kau takkan pernah terganti.
Bangkalan, 20 Juni 2014
Wujudkan Bualan
Hujat, menghasut saling pecut-memecut.
Bukan bual-membual yang diinginkan.
Lihat, wujud dari bual-membualmu apa.
Bagaimana wujudnya, bentuknya, hingga rasanya.
Kau sekalian bisa dan sangat boleh berbeda.
Tapi, kau tak boleh lupa.
Siapa, dan untuk apa kau.
Memang kau tak berhak lupa.
Kau panutan bukan untuk sebuah tuntutan.
Kau pahlawan bukan dermawan yang menawan.
Bukan bual-membual yang diinginkan.
Lihat, wujud dari bual-membualmu apa.
Bagaimana wujudnya, bentuknya, hingga rasanya.
Kau sekalian bisa dan sangat boleh berbeda.
Tapi, kau tak boleh lupa.
Siapa, dan untuk apa kau.
Memang kau tak berhak lupa.
Kau panutan bukan untuk sebuah tuntutan.
Kau pahlawan bukan dermawan yang menawan.
Bangkalan, 19 Juni 2014